harianmerapi.com - Dikisahkan bahwa Ki Cakrajaya atau Sunan Geseng mengikuti Sunan Kalijaga ke Demak untuk menjalankan syiar Islam.
Ketika Masjid Demak dibangun, Sunan Kalijaga menyumbangkan sebuah ‘saka guru’ (tiang utama) yang dibuat dari tatal (sisa-sisa kayu).
Tiang tatal itu ternyata terlalu panjang, kemudian dipotong. Potongan tiang tatal itu diberikan kepada Sunan Geseng, untuk dibawa ke kampung halamannya, Bagelen.
Baca Juga: Tujuh Manfaat dan Keutamaan Membaca Istighfar, Salah Satunya Membuka Pintu Rezeki
Ketika Sunan Geseng merasa ilmu agama yang ditimbanya sudah cukup, dia berpamitan kepada Sunan Kalijaga. Karena dia ingin menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.
Kepada Sunan Geseng, Sunan Kalijaga berpesan, “Janganlah kau berhenti berjalan bila membawa potongan tiang tatal ini. Tetapi bila kamu merasa lelah dan terpaksa berhenti, maka dimana kamu berhenti di situlah kamu harus mendirikan masjid dan pesantren.”
Dengan memegang teguh pesan sang guru, Geseng berpamitan untuk pulang ke desa asalnya, Bagelen, Purworejo.
Namun, ketika perjalanannya sampai di desa Kleteran, Grabag, karena sangat lelahnya Geseng berhenti dan meletakkan potongan tiang tatal itu.
Baca Juga: Cerita Misteri Memancing di Jembatan Barelang Ketemu Buaya Mata Satu Diingatkan untuk Pindah Lokasi
Di desa inilah Geseng kemudian mendirikan sebuah masjid dan pondok pesantren. Sampai kini masjid dan pesantren itu masih ada dengan nama “Pondok Pesantren Sunan Geseng”.
Selama mengasuh pondok pesantren di desa Kleteran itu, Sunan Geseng lebih sering berada di desa Tirto yang berada di sebelah timur desa Kleteran.
Sehingga, ulama ini oleh sesepuh desa itu, Kyai Wonotirto, dianggap sebagai anaknya. Masyarakat desa Tirto juga sangat menghormati Sunan Geseng, sebagai mubaligh yang disegani.
Ketika Sunan Geseng wafat di desa Kleteran, masyarakat Tirto ingin memakamnya di desanya. Tetapi warga Kleteran juga mempunyai maksud yang sama.
Baca Juga: Cerita Hidayah, Lalai dalam Hal Waktu Maka Rezeki yang Sudah di Depan Mata pun Menjauh
Maka terjadilah ‘perebutan’ jenazah Sunan Geseng, karena warga dari dua desa itu sama gigihnya dalam mempertahankan maksudnya.