harianmerapi.com - Mrki diliputi rasa keraguan, Berjo akhirnya menemui orang tua juga di desa. Hampir sepuluh tahun sudah, ia tak menginjak kampung halamannya, ternyata semua sudah berubah banyak.
Rumah Pak Sudirgo, orang tuanya, nyaris tak dikenalinya lagi. Dulu rumah berdinding papan itu telah berubah menjadi tembok nan kokoh.
Tak menonjol memang, karena bentuknya hampir mirip dengan rumah-rumah lainnya di kiri kanannya.
Baca Juga: Arwah Saudara Kembar Menjahit Gaun Baru Buat Lebaran
Sebagai kampung dengan mata pencaharian utama pertanian yang subur ditambah perikanan yang melimpah, membuat masyarakatnya memiliki taraf ekonomi yang merata.
Saat Berjo datang, kebetulan Pak Dirgo dan istrinya tengah beristirahat di teras rumah, sambil mengawasi gabah yang sengaja dijemur di halaman.
Sudah tentu, dua orang tua yang sudah mulai menua itu kaget. Meski wajah Berjo sudah banyak berubah, namun mereka sama sekali tidak pangling. Anak mereka yang seolah sudah dilupakan, tiba-tiba sudah ada di hadapan matanya.
Baca Juga: Misteri Rintihan Pilu dari Pohon Jambu
Begitu melihat kedua orang tuanya, Berjo langsung berlari dan bersujud di depan mereka. "Bapak Ibu, ini Berjo pulang untuk mohon ampun," kata Berjo sambil sesenggukan.
Dua orang tua itu pun hanya bisa saling berpandangan. Tapi hati keduanya tak bisa ditutupi, timbul rasa trenyuh sekalipun dulu si anak telah membangkang tak menuruti perintahnya.
"Sudah Le, ayo berdiri," kata Pak Dirgo sambil mengangkat badan Berjo untuk diajak berdiri.
Sambil berdiri, Berjo memegang erat tangan ayahnya dan diciuminya seolah tak ingin dilepaskan.
"Ayo...ayo..duduklah." kata Pak Dirgo lagi.
Berjo melepaskan tangan ayahnya, namun dengan serta merta ganti menubruk sang ibu. Melihat tangis ananya yang tak juga berhenti, Bu Dirgo pun ikut larut dalam tangis.
Dipeluknya Berjo dengan erat, sambi mengelus-elus kepala dan pundaknya.
"Le anakku cah bagus. Sudah lama ibumu memaafkanmu," kata Bu Dirgo.