HARIAN MERAPI - Tradisi jamasan keris pada setiap bulan Suro, selalu dilakukan oleh sebagian masyarakat di Jawa. Tak harus dengan upacara sesaji, jamasan keris juga bisa dilakukan sederhana.
Jamasan keris di bulan Suro, menjadi tradisi yang selalu diadakan oleh masyarakat Jawa. Utamanya, mereka yang punya pusaka tosan aji baik keris maupun tombak.
Tradisi jamasan keris di bulan Suro yang sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman leluhur ini, tak harus dilakukan dengan upacara besar melibatkan banyak uba rampe sesaji.
Ki Sugiyono, pangrukti keris di Sleman, Yogyakarta, mengatakan jamasan keris bisa dilakukan sederhana dengan tetap memperhatikan tata cara, alat, dan bahan mendasar yang diperlukan.
"Doa bisa dilakukan sesuai keyakinan, harapan, dan tujuan pemilik keris menjamasi," katanya, di sela aktivitas menjamas keris, pekan ini.
Menurut Ki Sugiyono, membersihkan keris memang seringkali dilakukan pada bulan Suro atau Muharram. Meskipun, sebenarnya juga tidak harus pada bulan Suro.
"Menjamas keris pada tiap bulan Suro itu hanya sebagai pengingat kalau setahun sekali keris itu harus dijamasi atau dibersihkan," katanya.
Ki Sugiyono mengatakan pula, jika jamasan harus dilakukan setidaknya setahun sekali, untuk membersihkan bilah keris dari sisa-sisa minyak, dan mungkin karat atau korosi.
"Tidak hanya bilah, tapi juga deder, pendok, dan warangka, harus dibersihkan," ujarnya.
Sementara itu jamasan keris yang biasanya tampak sakral dengan berbagai uba rampe sesaji, menurut Ki Sugiyono bisa disederhanakan.
Hal paling penting, menurutnya adalah bahan dan alat yang digunakan, serta proses pembersihan dan warangan yang harus sesuai dan baik.
Dia menjelaskan, beberapa bahan mendasar yang diperlukan adalah air kelapa muda, jeruk nipis, air perasan jeruk nipis murni, babon warangan, dan warangan baru yang bisa dibuat dari serbuk batu arsenikum. Selain, juga sabun colek.
"Alatnya adalah kuas kecil yang lembut, dan sikat lembut ukuran sedang," katanya.