"Lho, kenapa kok dititipkan. Ini anak adik sendiri to?" tanya Ratmi.
"Eee...anu, Bu. Eee, iya ini anak kami, tapi ....biar lebih terawat mau kami titipkan dulu," jawab sang ibu terbata-bata.
Tanpa sengaja, mata Bu Ratmi pun menatap wajah si jabang bayi, yang terlihat tengah tidur pulas. Dada Bu Ratmi langsung bergetar.
Ia merasa kasihan melihat bayi polos yang tengah dalam gendongan tersebut, sebentar lagi harus berpisah dengan kedua orangtuanya.
"Begini saja dik, bagaimana kalau bayi ini saya asuh saja. Saya juga punya anak agak besar jadi sudah cukup berpengalaman merawat nak kok."
Mendengar tawaran tersebut, sepasang remaja itu pun kembali berbisik-bisik. Sejenak kemudian, bapak dari si bayi yang berbicara: "Kalau ibu bersedia momong anak kami, kami tidak keberatan. Nanti kami akan kirim biaya perawatan setiap bulannya."
Bu Ratmi pun riang bukan kepalang. Dia merasa tidak keberatan untuk merawat bayi orang lain, sekalipun kehidupannya tergolong pas-pasan.
Penghasilan suaminya sebagai buruh serabutan, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun ia tidak memikirkan sama sekali janji orang tua si bayi, yang anggup mengirim biaya perawatan setiap bulannya.
Diberi kepercayaan untuk menjadi pengasuh bayi saja dianggapnya sebuah anugerah. Dan Ratmi berjanji akan merawat bayi merah tersebut sebagaimana layaknya anak kandung sendiri. *