“Ya, yuk kita mulai Yuk,, aku yang nyangkul kamu yang ngangkat ya,” tukas Wintolo.
Wandi mengangguk, “Baik, nanti gentian.”
Kurang satu jam mereka menambang, ketika Wandi sedang menyunggi pasir hasil tambangan, yang kebetulan sudah sampai atas sungai, ia terdengar suara gemuruh,
“Banjiir!” pikirnya, sambil menengok ke arah sungai,
Nampak air keruh kehitaman mengalir deras, “Banjir! Banjir! Win! Wintolo!,” teriaknya cemas.
Wandi menuju ke tepian tempat ia menambang, “Hah!”
Ia kaget karena melihat batu besar berhenti tepat di tempat Wintolo tegak berdiri, Jantung Wandi berdegub keras sambil terus matanya tak lepas ke Wintolo.
Ia hendak turun nggak berani, karena air masih mengalir deras. Memang hanya sebentar, nggak sampai satu jam, air pun surut, banjir pun reda, Wandi berangsur hilang rasa cemasnya,
Ia memberanikan turun, dan ketika sampai ke tempat Wintolo, “Win, Wintolo,” tukasnya, “Kamu nggak apa-apa kan?”
Tapi Wintolo nampak masih gugup sekaligus heran, “Aku diselamatkan batu besar,” ungkap Wintolo.
“Ya, ya, aku tadi melihatnya,” sahut Wandi keheranan, “Tapi lalu, kemana batunya?”
“Itulah,” Wintolo tak habis pikir sambil tolah-toleh ke sekeliling tempatnya berdiri, “Semua peralatan masih utuh,” lanjutnya tampak senang.
“Kamu selamat, Win,” sambut Wandi gembira, “Yuk kita pulang dahulu,” ajaknya.
Mereka pun sujud syukur, dan bagi Wintolo pengalaman itu sungguh sangat berharga. Ia dan kawan-kawan harus waspada dengan tanda-tanda, misalnya ada yang mengingatkan seperti istri Wintolo. (Dikisahkan Bagong di Koran Merapi) *