HARIAN MERAPI - Pulang dari Sragen Pak Tukimin mampir ke warung murah meriah di tengah sawah.
Tak tahunya ini adalah sebuah cerita misteri, karena ternyata warung murah meriah itu bukan warung sembarangan.
Sore itu Pak Tukimin sendirian pulang ke Yogyakarta, setelah selesai mengantar Pak Sani, Kakak majikannya ke kota Sragen.
Melihat ada warung sederhana di tengah sawah, Pak Tukimin mengurangi laju kendaraan yang dikemudikan. Lalu berhenti tidak jauh dari warung tersebut.
“Mangga, Mas. Tinggal pilih. Semua murah meriah kok”, ujar penjualnya, seorang perempuan paro baya, begitu dia masuk ke warung itu.
Pak Tukimin gembira membaca tulisan tangan di sebuah papan kayu. Semua serba Rp. 2500,00. “Hem...waras- wareg. Sesuai dengan kantongku”, gumam Pak Tukimin dalam hati.
Di dalam warung sepi. Hanya ada satu lelaki duduk di lincak bambu tutul dengan kaki sebelah kiri jegang.
Lahap sekali memakan makanan terbungkus daun pisang yang tersaji di hadapannya. Tampak beberapa bungkus telah selesai dilahapnya.
“Yang ini bungkusan apa ya, Mas? Baunya sedap sekali”, basa- basi Pak Tukimin bertanya pada lelaki di sampingnya.
“Gak usah tanya-tanya. Cicipi saja. Semua enak kok. Dan semua murah”, jawab lelaki tersebut. Ingin segera mengetahui isinya, Pak Tukimin meraih satu bungkus. Dan pelan- pelan dibuka bungkusnya.
Pak Tukimin kaget setengah hidup begitu melihat isi bungkusan itu. Warnanya coklat tua kemerahan. Dan...ada kaki-kaki yang masih bergerak-gerak.
“Oh, njenengan pinter milih, Mas. Itu makanan yang paling enak di warung ini. Aku juga amat suka. Lihat, aku sudah habis enam bungkus nih”, ujar lelaki itu dengan tersenyum.
“Makanan apa ini namanya, Mas?”, Pak Tukimin masih penasaran ingin tahu.