KASUS perempuan menodongkan pistol ke anggota Paspampres beberapa hari lalu masih menjadi perbincangan hangat masyarakat. Siapa perempuan nekat tersebut ? Teridentifikasi bernama Siti Elina (24).
Saat diperiksa petugas, ia mengaku ingin bertemu dengan Presiden Jokowi dan memberitahu bahwa Indonesia salah, karena tidak berdasarkan Islam.
Kasus ini telah diambil alih Densus 88 Antiteror Mabes Polri. Meski demikian Siti Elina belum dikenakan UU tentang Pemberantasan Terorisme, melainkan UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api.
Baca Juga: Diberikan langsung Menteri Yasonna Laoly, Kanwil Kemenkumham DIY raih 2 penghargaan
Sementara suami Siti Elina dijadikan tersangka untuk kasus berbeda, yakni yang bersangkutan bergabung dengan NII yang merupakan organisasi terlarang. Juga guru ngajinya, telah ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan doktrin dan provokasi.
Banyak pihak mempertanyakan sikap kepolisian yang dianggap terlalu cepat menyimpulkan kejadian tersebut berkaitan dengan terorisme, sehingga penanganannya diambil alih Densus 88 Antiteror. Memang, sebaiknya semua pihak menghormati proses hukum yang kini sedang berjalan. Sedang polisi juga harus menghormati asas praduga tak bersalah.
Diingatkan, polisi yang kini sedang menjadi sorotan publik menyusul kasus Ferdy Sambo, lebih berhati-hati dan tidak gegabah langsung mengkualifikasikan perbuatan Siti Elina sebagai terorisme. Sudah tepat bila menggunakan UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api tanpa izin. Baru setelah itu bisa dikembangkan kasusnya agar lebih luas.
Baca Juga: Mengenal varian Omicron XBB bergejala ringan seperti batuk pilek biasa, tapi....
Tindakan polisional tidak boleh berlebihan, melainkan harus didasarkan pada fakta yang ada. Bahwa kemudian ditemukan bukti indikasi ke arah terorisme, misalnya, itu bisa saja terjadi, namun harus dengan alat bukti yang kuat.
Memberantas terorisme hanya dengan pendekatan kekerasan semata nampaknya sudah tidak efektif, melainkan perlu pendekatan yang lebih humanis sehingga mudah diterima. Kekerasan juga tak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Mengatasi terorisme hendaknya menggunakan pendekatan multidimensi, yang mencakup berbagai aspek, baik agama, ekonomi, sosial budaya maupun pendidikan.
Boleh jadi akar terorisme adalah kemiskinan, sehingga membuat orang tak lagi bisa berpikir rasional, melainkan hanya tunduk ketika menerima doktrin. Nah, kalau sudah ketemu akar masalahnya, pendekatannya akan relatif mudah. Ketimpangan ekonomi, yang jauh dari pemerataan harus dibenahi.
Baca Juga: Longsor di bukit bintang Jalan Wonosari-Yogya, Ini jalur alternatif yang disiapkan Polres Bantul
Pendidikan agama juga harus diperhatikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi, karena itu akan membentuk karakter seseorang. Jangan sampai kelak mereka salah langkah. (Hudono)