DUNIA akademik diguncang isu dasyat seputar suap dalam penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung (Unila) di Medan.
KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap Rektor Unila Karomani karena diduga menerima suap total Rp 5 miliar dari orangtua calon mahasiswa. Total KPK telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus tersebut.
Nampaknya baru kali ini KPK menyasar dunia akademik di lingkungan universitas, khususnya dalam penerimaan mahasiswa baru. Diduga Rektor telah menyalahgunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi dalam penerimaan mahasiswa baru tahun 2022.
Baca Juga: Virtual Job Fair Bantul 2022, ada lowongan 100 posisi bagi penyandang disabilitas
Banyak pertanyaan muncul seputar penangkapan Rektor Unila, misalnya, mengapa harus KPK yang turun tangan ? Apakah aparat penegak hukum di wilayah hukum Unila tidak mengetahui telah terjadi praktik suap ? Dalam hal ini lembaga yang paling berkompeten adalah Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi. Tidakkah mereka mencium gelagat mencurigakan dalam penerimaan mahasiswa baru di Unila ?
Kasus tersebut terungkap karena ada informasi dari masyarakat. Boleh jadi, mereka yang melaporkan adalah pihak yang dirugikan, mungkin dari kalangan orangtua calon mahasiswa yang tidak diterima, atau bisa juga dari kalangan internal dosen atau tenaga akademik di Unila yang tidak mendapat jatah rezeki. Orang sering mengistilahkannya dengan ‘hujan yang tidak merata’.
Sekilas, tidak ada yang istimewa dari sistem rekrutmen mahasiswa baru di Unila, apalagi melalui jalur mandiri. Hampir semua perguruan tinggi menerapkannya. Hanya saja, lantaran Unila adalah perguruan tinggi negeri, maka mekanismenya harus transparan, termasuk pengelolaan keuangannya.
Baca Juga: 3 Perwira Polres Gunungkidul diganti, AKP Antonius Purwanto jadi Kasatlantas
Wajar bila calon mahasiswa yang mendaftar melalui jalur mandiri harus mengeluarkan biaya lebih besar ketimbang jalur reguler. Namun semua sudah ada aturannya. Yang jelas, uang penerimaan mahasiswa baru itu tidak masuk kantong pribadi. Bahwa panitia mendapat insentif, pasti sudah diatur sesuai ketentuan, termasuk besarannya.
Lantas, mengapa pula Rektor dan pembantunya dicokok KPK ? Diduga kuat Rektor menyalahgunakan kewenangannya dengan mendapatkan uang untuk kepentingan pribadi, bukan institusi.
Pasti persoalannya akan lain bila uang tersebut masuk institusi, baru langkah berikutnya didistribusikan sesuai aturan. Agaknya mekanisme ini tidak dijalankan rektorat, sehingga dilaporkan ke KPK. Apalagi, secara pribadi Rektor menerima uang dari orangtua calon mahasiswa, jelas menyalahi aturan.
Baca Juga: Elektabilitas belum maksimal, Airlangga diharapkan tingkatkan intensitas komunikasi dengan rakyat
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta untuk mengelola dana secara profesional sesuai ketentuan, jangan coba-coba menggelapkan atau mengorupsi, pasti akan ketahuan. (Hudono)