MUNGKIN ini fenomena baru dalam dunia penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Seorang perempuan, Ny WR (27), warga Kasihan Bantul beberapa hari lalu melaporkan mantan kekasihnya, SN (39) ke Polda DIY atas tuduhan ingkar janji untuk menikahinya.
Bahkan, hingga Ny WR melahirkan anak, SN tak pernah memperlihatkan batang hidungnya, entah ke mana.
Lantaran tak mau bertanggung jawab itulah WR mengadukan SN. Kasus seperti ini jarang yang berlanjut hingga proses hukum, apalagi bila kedua belah pihak telah ada kesepakatan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Namun dalam kasus ini, tak ada musyawarah karena SN menghilang dan sulit dihubungi.
Bisakah ingkar janji menikah dituntut pidana ? Kiranya patut dicoba, meski hal itu cenderung mengarah perdata. Secara perdata tentu lebih mudah diajukan karena ingkar janji atau cedera janji, termasuk janji menikah, mengarah pada tindakan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
WR adalah pihak yang dirugikan atas kelakuan SN, sehingga wajar bila WR menuntut pertanggungjawaban hukum, termasuk menuntut ganti rugi atas perbuatan mantan kekasihnya ini.
Tapi umumnya hal itu jarang dilakukan oleh kaum perempuan karena mungkin prosesnya dianggap ribet karena harus membuat surat gugatan dan sebagainya. Tapi justru itulah cara yang paling masuk akal untuk meminta pertanggungjawaban laki-laki.
Melalui gugatan perdata, WR juga bisa meminta SN untuk menanggung biaya hidup anaknya.
Ini sekaligus juga menjadi pembelajaran buat SN bahwa ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya hingga mengakibatkan WR hamil dan melahirkan anak. Soal apakah SN mengakui atau tidak, bisa dibuktikan dengan tes DNA misalnya.
Baca Juga: Satu Prajurit Gugur dan Satu Mengalami Cedera Setelah KKB Kembali Serang Pos Marinir di Nduga, Papua
Namun, yang lebih penting dari itu semua, kasus WR bisa menginspirasi kaum perempuan korban janji gombal laki-laki. Lelaki umumnya mau enaknya sendiri, ketika kekasihnya hamil dan melahirkan anak, malah kabur.
Kasus ini masih berproses di kepolisian. Bila cara pidana mental, maka dapat ditempuh cara perdata melalui gugatan di pengadilan. Idealnya kedua cara ini ditempuh sekaligus.
Soal bagaimana hasilnya, percayakan kepada aparat penegak hukum. Mereka tentu punya hati nurani untuk mempertimbangkan keadilan bagi WR. Sebab, cita-cita hukum adalah mewujudkan keadilan, termasuk keadilan bagi korban janji gombal laki-laki. (Hudono)