LANGKAH jaksa dari jajaran Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang menuntut hukuman mati terhadap Herry Wirawan yang diduga memperkosa 12 santriwatinya mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan.
Bahkan jaksa tak hanya menuntut hukuman mati, melainkan juga menuntut hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Selain itu jaksa menuntut agar Herry membayar restitusi atau kerugian kepada korban yang nilainya ratusan juga rupiah.
Kasus ini tergolong fenomenal, baik dari sudut pelaku maupun hukumannya. Karena itu masih tuntutan, maka putusan sepenuhnya diserahkan kepada hakim Pegadilan Negeri Bandung yang menyidangkan perkara tersebut.
Baca Juga: Ini Gaya Hidup Sehat Anya Geraldine
Bila dikabulkan, lantas bagaimana eksekusinya, terutama terkait dengan hukuman tambahan berupa kebiri kimia ?
Tentu tidaklah mungkin eksekusi mati terlebih dulu baru kemudian dikebiri. Tentu kebiri terlebih dulu, baru setelah itu eksekusi mati, bila memang dikabulkan hakim. Seperti diketahui, kebiri kimia bersifat sementara, bukan permanen.
Hukuman tersebut dipastikan akan membuat pelaku jera. Tapi jauh lebih penting menjadi pelajaran bagi orang lain untuk jangan coba-coba melakukan kekerasan seksual (perkosaan).
Baca Juga: Diet Aman dan Sehat, Begini Tips dari Ahli Gizi UGM
Tuntutan jaksa tergolong fenomenal karena sangat jarang kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan dituntut hukuman mati. Apapun vonisnya nanti, jaksa telah mengukir sejarah dengan menyusun tuntutan maksimal, karena tidak ada lagi hukuman yang lebih berat dibanding hukuman mati.
Bahkan, Komnas HAM sejauh ini tidak setuju dengan hukuman mati karena dinilai melanggar prinsip-prinsip penegakan HAM universal. Prinsipnya, hak hidup tak dapat dikurangi sekecil apapun oleh siapapun.
Namun hukum positif di Indonesia sampai saat ini masih mengakomodasi pidana mati untuk kasus-kasus tertentu yang tergolong luar biasa. Memperkosa 12 santriwati adalah kejahatan luar biasa yang bersifat masif, sehingga jaksa menilai terdakwa patut dijatuhi pidana mati plus hukuman tambahan berupa kebiri kimia serta pembayaran ganti rugi kepada korban.
Baca Juga: Inter Milan Juara Piala Super Italia, Alexis Sanchez Jadi Pahlawan Kemenangan
Pembayarang ganti rugi kepada korban memang tidak memulihkan keadaan, namun sekurang-kurangnya membantu korban untuk semangat bangkit menatap masa depan. Korban harus mendapat perlindungan dan pendampingan sehingga terbebas dari trauma dan rasa ketakutan. Ini semestinya menjadi tanggung jawab negara yang dijalankan oleh instrumen negara, yakni pemerintahan.
Bisa jadi hakim nanti memutus tidak seberat itu (hukuman mati dan kebiri) karena ada faktor-faktor yang dinilai meringankan, misalnya pelaku mengakui terus terang, tidak berbelit-belit dan menyesali perbuatannya.
Hal demikian sepenuhnya menjadi kewenangan hakim untuk memutuskannya. Tapi paling tidak, hukuman yang bakal dijatuhkan akan menjadi preseden bagi penanganan kasus kekerasan seksual lainnya terutama terhadap anak-anak. Sudah selayaknya predator anak dihukum berat. (Hudono)