HANYA gara-gara risih ditagih utang, AMD (33), warga Kemranjen Banyumas yang berprofesi sebagai sopir tega membunuh kekasihnya, Meliyani (46), warga Sumpiuh Banyumas. Membunuhnya pun dengan cara sangat sadis, yakni korban dibekap hingga tak bisa bernapas, kemudian pelaku menyetrumnya.
Peristiwanya terjadi pada Kamis 30 Desember 2021 dan pelaku ditangkap beberapa hari kemudian. Konyolnya, pelaku melapor ke tetangga dan mengabarkan bila Meliyani meninggal yang seolah-olah bukan dia pembunuhnya. Namun polisi lebih pintar dan tak percaya dengan apa yang dikatakan pelaku, karena justru AMD-lah yang telah menghabisi nyawa Meliyani.
Pelaku akhirnya tak bisa mengelak dan mengaku terus terang, ia risih ditagih utang Rp 4 juta oleh korban, hingga kemudian muncul niat untuk menghabisi nyawanya. Tapi benarkah pembunuhan itu tidak direncanakan ?
Baca Juga: Rayakan Tahun Baru di Hotel, Warga Solo Tiba-tiba Tewas, Ini Penyebabnya
Itulah yang harus didalami polisi. Sebab, bila hanya mendasarkan pada Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, maka ancaman hukumannya lebih ringan (maksimal 15 tahun penjara) dibanding pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), yakni hukuman mati, atau penjara seumur hidup.
Tak jelas apa yang ada di benak AMD sampai punya pikiran nekat menghabisi nyawa Meliyani yang notabene kekasihnya. Hanya karena uang Rp 4 juta, mengapa nyawa harus melayang ? Tentu uang tersebut tidak sebanding dengan nyawa manusia. Bahkan, kalau mau jujur, nyawa manusiawi tak bisa dibandingkan dengan apapun.
Apakah AMD mengira dengan berpura-pura melaporkan kejadian Meliyani meninggal karena dibunuh orang lain, ia bakal terbebas jerat hukum ? Agaknya pelaku tidak pernah berpikir bahwa banyak cara dilakukan untuk membongkar suatu kejahatan, termasuk peristiwa pembunuhan yang dialami Meliyani.
AMD harus membayar perbuatannya. Bila penegak hukum menggunakan Pasal 340 dalam mendakwa AMD, maka yang bersangkutan harus bersiap untuk terancam hukuman mati. Dalam ungkapan Jawa kita sering mengenal istilah nyawa dibalas nyawa. Apakah ini juga akan terjadi pada kasus tersebut, sepenuhnya menjadi kewenangan hakim yang menyidangkan perkaranya nanti.
Utang-piutang sebenarnya masalah perdata, sehingga penyelesaiannya pun bisa lewat mekanisme hukum perdata. Namun, karena berbuntut pembunuhan maka bergeser ke masalah pidana. Dengan menghabisi nyawa Meliyani, tidak lantas utang AMD lunas. Sampai di penjara sekalipun, atau bahkan dihukum mati, AMD masih punya tanggungan utang kepada korban yang harus dilunasi. (Hudono)