NABI Muhammad Shallallahu’alaihi Wa Sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang yang datang meminta nasihat kepada beliau: ”Jangan kamu marah”.
Islam mengajarkan, apabila hidup penuh dengan kesulitan dan perasaan sering terluka atau dilukai orang lain, ada tiga cara untuk merespon secara positif yang dapat menjadikan jiwa stabil kembali; yaitu menahan amarah, memberi maaf, dan membalasnya dengan kebaikan.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa rasa marah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-hararah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthubah) dalam diri manusia. Hatinya sudah terpenuhi dengan bara api kemarahan dan darah yang kotor, sehingga hati menjadi buta terhadap realita serta tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Baca Juga: Tingkatkan Perbaikan Rumah Tak Layak Huni, Jateng Tambah Dana Pemdes
Kaitannya dengan menangani rasa marah, ada enam langkah praktis yang dapat diterapkan untuk mengantisipasinya; yaitu : Pertama, mengubah sikap. Amarah bisa menjadi dorongan dan aura positif kalau ditangani secara sensitif dan asertif; amarah harus ditangani, bukan dipendam atau dilampiaskan.
Harus diingat, kita semuanya mempunyai pilihan ketika sedang marah, terkendali ataukah lepas kendali, dan tidak ada seorang pun bisa membuat kita lepas kendali kecuali kita membiarkannya terjadi.
Kedua, kendalikan ketakutan. Seringkali amarah yang terpendam merupakan akibat hilangnya rasa percaya diri yang berakar pada ketakutan; takut kehilangan pekerjaan, citra diri, teman karib, hidup, penghasilan, dan sebagainya. Kemarahan itu sendiri terkadang merupakan suatu upaya untuk menutupi ketakutannya. Dengan memerangi ketakutan tersebut kita biasanya menjadi lebih baik dalam mengendalikan amarah.
Baca Juga: Polsek Polokarto Beri Pelatihan Budi Daya Ikan Lele Pada Kelompok Pemuda
Ketiga, hadapi sisi buruk dalam diri sendiri, artinya kita harus berani mengakui dan melihat sisi jelek diri sendiri, menerima kelemahan sendiri tanpa ada perasaan terancam. Orang yang sedang mengarahkan jari telunjuknya ke arah orang lain, ternyata ada tiga jari lain yang menunjuk kepada dirinya, artinya kesalahan itu lebih besar pada diri sendiri.
Keempat, mengatasi timbunan amarah. Ini bisa berarti menghadapi dan berbagi kepedihan dan penderitaan di masa kecil, termasuk yang baru dirasakan, yang diakibatkan oleh orang lain. Timbunan amarah akan menjadi suatu kumpulan amarah yang harus dipendam, yang istilah psikologisnya sebagai kompleks terdesak yang pada saat-saat tertentu akan dapat meledak ketika kendali diri melemah. Dalam kondisi yang seperti ini seseorang bisa kehilangan kendali diri yang berakibat melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya dan juga orang lain.
Kelima, belajar mengekspresikan perasaan tanpa memendam atau melampiaskan, artinya kita perlu mengungkapkan apa yang perlu disampaikan secara jelas, yakin, baik dan positif, tanpa menuduh, mengungkapkan dengan kata “aku”, bukan dengan “kau”. Kemarahan yang selalu disimpan dalam diri akan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat memberatkan. Padahal kenyataan yang sesungguhnya tidak seberat yang dirasakan berlama-lama itu.
Baca Juga: Kejujuran Membawa Nikmat 10: Pesan Terakhir dari Papa
Keenam, carilah penyaluran bagi energi marah. Menyalurkan energi untuk melakukan sesuatu yang produktif di lingkungan kerja, rumah, lapangan olahraga, atau suatu ruangan. Alihkan kemarahan itu kompensasikan kepada kegiatan yang bisa diterima diri sendiri dan orang lain, sehingga berubah menjadi perilaku yang dianjurkan.
Akan lebih utama lagi diarahkan kepada kegiatan yang sublimatif, yang tidak sekadar diterima orang lain, tetapi sudah meningkat kepada nilai-nilai keutamaan dan kemuliaan.
Berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara meningkatkan ibadah dengan baik merupakan sarana yang paling ampuh untuk mengendalikan rasa marah yang ada pada setiap pribadi muslim yang pada akhirnya akan tampil sebagai pribadi yang menang dalam melawan gejolak nafsu amarah keserakahan dan nafus menang sendiri.