JANGAN coba-coba ngarang cerita telah dirampok atau dibegal, urusannya bisa panjang, bahkan bisa berujung ke penjara. Maunya mendapat simpati, eh malah sebaliknya dibuly dan dipojokkan.
Wajar saja, begitu ketahuan berbohong, maka orang yang awalnya bersimpati berbalik arah menjadi membenci dan mencemooh.
Agaknya itulah yang dialami UM (19) mahasiswa asal Sumatera Utara. Gara-gara kalah taruhan dan terjerat utang, UM nekat membuat laporan palsu seolah-olah ia dibegal, sehingga motor, laptop, HP dan barang-barang berharga miliknya, termasuk dompet berisi surat penting raib. Namun setelah polisi mendatangi tempat kejadian perkara (TKP), ditemukan kejanggalan.
Apalagi, setelah polisi memeriksa rekaman CCTV di sekitar lokasi, tak ada peristiwa sebagaimana dilaporkan UM. Atas perbuatannya itu, UM pun dijerat UU No 1 tahun Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana, khususnya Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) tentang penyiaran kabar bohong.
UM mungkin tidak mengira bila di sekitar lokasi telah dipasangi kamera CCTV, sehingga semua aktivitas di lokasi bisa terekam. Saat diinterogasi petugas, UM mengaku kalah taruhan sehingga nekat bikin laporan palsu. Bahkan informasi bahwa dirinya menjadi korban begal telah ia unggah di media sosial.
Sebenarnya, polisi dapat menerapkan sangkaan berlapis. Bukan hanya dengan UU No 1 Tahun 1946 saja, melainkan juga dengan UU ITE, karena informasi yang bersifat bohong itu telah menyebar ke mana-mana. Informasi tersebut juga telah meresahkan masyarakat, sehingga sangat merugikan. Padahal, yang benar, di tempat tersebut tidak terjadi pembegalan maupun perampokan.
Baca Juga: Masyarakat dibekali pelatihan digitalisasi, untuk memajukan UMKM Trimurti
UM adalah mahasiswa yang kelewat kreatif, sayangnya digunakan untuk kepentingan yang tidak benar. Mungkin ia tak mengira bila perbuatannya bakal membawanya ke sel berjeruji besi. Apakah kasus tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice ?
Agaknya sulit, karena harus ada kesepakatan antara pelaku dengan korban. Restorative justice harus bertumpu pada pemulihan kondisi korban.
Sedang dalam kasus ini korbannya sulit teridentifikasi, yakni mereka yang telah termakan berita hoaks yang disebarkan UM. Jadi, lebih baik kasus ini diselesaikan melalui mekanisme hukum pidana biasa.
UM tetap harus menjalani proses hukum pidana hingga akhirnya disidang di pengadilan nanti. Ini sekaligus juga untuk memberi efek jera kepada pelaku. (Hudono)