JANGAN main-main dengan tanah kas desa (TKD). Itulah pesan penting yang patut dicamkan para pemangku kepentingan. Bila menyalahgunakan TKD urusannya bakal panjang, bahkan bisa masuk bui.
Sudah banyak orang yang dijerat pidana gara-gara menyalahgunakan TKD, baik untuk hunian, maupun lainnya. Umumnya, pelaku tidak mengantongi izin sebelum memanfaatkan TKD. Dipastikan bakal berurusan dengan hukum.
Kasus paling aktual terjadi di Trihanggo Kapanewonn Gamping Sleman baru-baru ini. Lurah setempat telah dijadikan tersangka atas tuduhan menyalahgunakan TKD. Seorang lagi, pengusaha tempat hiburan malam juga menjadi tersangka atas penyalahgunaan TKD di wilayah Trihanggo.
Sang pengusaha berencana membangun tempat hiburan malam di tanah seluas 25.895 meter persegi di Padukuhan Kronggahan I. Persoalannya mereka tidak mengantongi izin dari Gubernur DIY.
Padahal sudah jelas, dalam Perda No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, untuk memanfaatkan TKD harus izin Gubernur dan juga Kraton selaku pemilik tanah. Namun itu tidak dilakukan pemrakarsa, sehingga berimplikasi hukum. Bahkan, terkait kasus itu, Gubernur DIY Sri Sultan HB X mendukung proses hukum terhadap mereka yang tidak meminta izin Gubernur dalam memanfaatkan TKD.
Kalau mau jujur, sebenarnya hukum adalah langkah terakhir dalam penyelesaian masalah. Namun dalam kasus Lurah Trihanggo, masih belum jelas apakah yang bersangkutan sudah diperingatkan untuk mengurus izin sebelum menyerahkan pemanfaatkan TKD kepada pihak lain. Apalagi, TKD tersebut hendak digunakan untuk tempat hiburan malam yang notabene mengundang kontroversi. Dalam kasus tersebut yang jauh lebih penting adalah menyangkut perizinan.
Baca Juga: Manchester City Tantang Crystal Palace di Partai Final Piala FA 2024-2025
Orang Jawa, Yogya khususnya, mungkin akan mengatakan Lurah Trihanggo ‘kewanen’ tidak meminta izin Gubernur sebelum memanfaatkan TKD. Atau jangan-jangan ia tidak tahu ? Rasanya mustahil seorang Lurah tak paham prosedur memanfaatkan TKD.
Dalam hukum kita mengenal asas presumptio iures de iure, yakni semua orang dianggap tahu undang-undang atau hukum. Asas ini juga dikenal sebagai asas fiksi, mengapa ? Karena dalam kenyataannya tidak semua orang tahu hukum.
Asas ini berlaku demi tegaknya hukum. Sebab, bila ketidaktahuan orang terhadap hukum menjadi alasan pembenar perbuatan, maka orang akan beramai-ramai melanggar hukum, lantaran tidak akan dipidana lantaran tidak tahu hukumnya. Jika itu yang berlaku maka negara dipastikan akan kacau. Maka berlakulah asas semua orang dianggap tahu hukum. (Hudono)