HARIAN MERAPI - Hayatan thayyibah (kehidupan yang baik) adalah kehidupan baik yang mencakup semua hal yang disebutkan di dalam hadis nabi Muhammad SAW antara lain rezeki yang halal, sifat qanaah atau rasa cukup, taufik dari Allah SWT, nikmat syurga di akhirat kelak dan juga kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Menurut Ibnu Katsir, hayatan thayyibah adalah mendapat rezki yang halal lagi baik dalam kehidupan, memiliki sifat qana’ah (puas dengan apa yang diberikan kepadanya), adanya
rasa kebahagiaan (as-Sa’adah), serta ketenangan hati di kehidupan dunia, dan memperoleh nikmat syurga di akhirat.
Sedangkan Sayyid Quthb mengkombinasikan di antara iman dan amal saleh, memperoleh rezeki yang halal namun bentuknya tidak mesti penuh dengan kenikmatan dan limpahan harta benda, merasakan ketenangan hati, menanamkan sifat sabar, syukur dan ridha terhadap ketentuan dan takdir yang yang diberikan oleh Allah SWT di dalam kehidupan dunia.
Baca Juga: Tradisi Saparan Wonolelo di Ngemplak Sleman, budaya mengenang Ki Ageng Wonolelo
Hayatan thayyibah bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi adalah
kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah.
Firman Allah SWT: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl; 16:97).
Ayat di atas secara jelas menegaskan bahwa Allah SWT akan memberikan hayatan
thayyibah atau kehidupan yang baik kepada semua umat manusia baik laki-laki maupun perempuan yang beramal shaleh dan beriman dengan aqidah yang lurus.
Dalam ajaran Islam terdapat beberapa kriteria kehidupan yang disebut hayatan thayyibah, yaitu:
Pertama, kehidupan yang dilandasi oleh aqidah tauhid yang kuat. Keimanan kepada Allah
SWT adalah fondasi kehidupan umat Islam. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang semua
orientasi kehidupnya hanya dilandaskan pada nilai-nilai ketauhidan kepada Allah SWT.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Katakanlah: Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am; 6:162).
Kedua, kehidupan yang selalu memberi dampak positif atau bermanfaat bagi diri sendiri dan
sesama. Sebagai makhluik sosial, manusia dituntut untuk senantiasa melakukan kerja-kerja
kemanusiaan yang memberikan aura positif bagi lingkungan sosialnya.
Kerja-kerja kemanusiaan atau amal shaleh adalah amal perbuatan yang dilakukan manusia sehingga membawa dampak positif atau manfaat pada dirinya dan juga pada orang lain.
Baca Juga: Dokter menyarankan penderita diabetes yang berisiko tinggi tidak berpuasa, ini alasannya
Memberikan harapan hidup yang lebih baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Bukannya amal yang justru memberi madharat bagi orang lain.