HARIAN MERAPI - Puasa bisa menjadi sarana untuk membuang nafsu ke-aku-an manusia. Dalam kondisi kehidupan yang penuh ujian dan ketidakpastian saat ini, masih banyak orang
yang merasa bangga dengan apa yang dimilikinya.
Bangga akan kecerdasannya, kepandaiannya, kecantikannya, ketampanannya, kekuatan badannya, kemerduan suaranya, harta benda yang dimilikinya, jabatan yang diraihnya dan berbagai kesuksesan lain.
Manusia senang dipuji, dihargai dan dihormati sebagai bentuk dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Sehubungan dengan hal ini, Allah SWT sejak dini telah mengingatkan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman, 31:18).
Baca Juga: Ini jenis makanan yang membuat kenyang lebih lama, cocok untuk makan sahur
Kecenderungan atau keinginan untuk menonjolkan ke-aku-an adalah bagian dari karakter
negatif manusia yang tidak bisa dibuang atau dihilangkan, tetapi hanya bisa dikelola atau diatur
sehingga memunculkan sifat positif seperti; rendah hati, arif, bijaksana, berhati mulia, dan berbagai akhlak mulia yang lain.
Dan dalam konteks pengelolaan atau pengaturan diri ini, Puasa Ramadhan 1446 H sekarang ini adalah momentum yang paling efektif untuk membakar nafsu ke-aku-an manusia.
Proses membuang ke-aku-an ini dapat dianalogikan dengan pembakaran sebatang besi yang
akan diproses menjadi pisau, alat rumah tangga, atau alat musik tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sifat besi yang dingin, ketika dibakar menjadi panas. Besi yang panas ini ketika ditempelkan pada selembar kertas, maka kertas itu akan ikut terbakar, atau minimal menjadi gosong. Hal ini sama artinya dengan orang yang sedang puasa Ramadhan, sebenarnya dia telah melakukan proses membuang sifat-sifat yang merusak (negatif), termasuk sifat sombong (takabur), ria, iri, dengki dan sebagainya.
Baca Juga: Retret kepala daerah digelar transparan, Mensesneg: Semua bisa kita buka
Inilah bagian hikmah diturunkannya perintah puasa; untuk membakar/membuang sifat-sifat
negatif diri manusia menjadi sifat positif yang mampu menambah nilai harga diri seseorang.
Sama halnya dengan prosesi pembakaran besi menjadi pisau, besi yang bersifat tumpul, tetapi setelah dibakar dapat menjadi tajam, namun materi dasarnya tetap besi. Inilah gambaran yang paling sederhana fungsi strategis puasa Ramadhan dalam pembentukan sifat-sifat positif manusia.
Nafsu ke-aku-an manusia yang cenderung mengutamakan diri sendiri, individualistis, egois
dan memandang dunia luar sebagai ancaman -- setelah ditempa melalui puasa Ramadhan -- akan melahirkan aku yang menyejarah.
Yaitu aku yang telah menyadari diri dan membuka diri menjadi pribadi yang terbuka, mengakui kenyataan hidup yang multi dimensi dan melahirkan sifat empati, yakni: (1) mampu memahami orang lain (understanding others), artinya mampu mengindera perasaan dan perspektif orang lain atau menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan orang lain,
Baca Juga: Komisi VI DPR Ingatkan Pertamina agar Konsumen Dapat Produk Sesuai Janji
(2) memiliki sifat yang mengembangkan orang lain (developing others), artinya dapat merasakan kebutuhan pengembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuannya, (3) memiliki sikap yang berorientasi pelayanan (service orientation), artinya mampu mengantisipasi, mengenali dan berupaya memenuhi kebutuhan orang lain,