SEORANG siswa SMAN 1 Cawas Klaten, Fajar Nugroho, meninggal gara-gara keusilan rekan-rekannya. Ia tewas di kolam setelah dicemplungkan teman-temannya karena saat itu bertepatan dengan hari ulang tahun Fajar.
Maunya bikin kejutan dengan menabur tepung ke muka korban kemudian digotong dan langsung diceburkan ke kolam kawasan sekolah.
Tak ada yang mengira bahwa saat itulah hari terkhir Fajar menghirup udara di dunia. Ternyata di dalam kolam tersebut ada aliran listrik mematikan. Awalnya, korban berteriak keram, padahal kemungkinan kesetrum, yang kemudian ditolong rekan-rekannya.
Baca Juga: Jangan buru-buru beli kendaraan secara kredit, simak tips berikut ini
Beberapa rekannya yang turun ke kolam juga merasakan kesetrum namun cepat terangkat ke daratan. Sedangkan korban cukup lama tersetrum di kolam. Seorang teman berhasil mematikan saklar listrik, sayangnya sudah terlambat.
Fajar terbujur lemas dan saat dilarikan ke rumah sakit terdekat nyawanya tak tertolong. Fajar Nugroho yang juga Ketua OSIS SMAN 1 Cawas itu meninggal gara-gara temannya sembrono. Hari bahagia yang akan dirayakan itu pun berubah menjadi hari duka. Semua meratapi kepergian Fajar. Keluarga korban merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Mereka tidak mengira Fajar bakal tiada di saat peringatan hari kelahirannya.
Meski begitu, keluarga Fajar tak mau membuat laporan polisi. Keluarga sudah menerima bahwa kejadian tersebut sebagai musibah. Namanya musibah, tak ada yang bisa disalahkan. Namun, itu baru versi keluarga korban. Padahal, kalau mau jujur, semua itu terjadi akibat kelalaian atau keteledoran teman-teman Fajar. Dalam hukum pidana sering disebut dengan istilah culpa lata atau kekuranghati-hatian yang kemudian berakibat fatal, bahkan kematian.
Jelas, teman-teman Fajar tak ada maksud untuk mencelakai temannya sendiri. Mereka hanya ingin bikin kejutan dan heboh dengan menceburkan Fajar ke kolam. Dalam hukum pidana, ketidaksengajaan membunuh ini tentu saja ada konsekuensi hukumnya. Artinya tetap dapat diproses secara pidana, sekalipun keluarga korban sudah mengikhlaskan.
Tapi dalam kondisi tertentu, bisa ditempuh restorative justice berdasar kesepakatan, terutama dari pihak keluarga korban. Anak-anak tidak pada tempatnya bila dimasukkan ke penjara akibat kelalaiannya. Apalagi mereka telah menyadari kekeliruannya. Ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka untuk tidak sembrono. Sebab, akibat sembrono bisa berujung duka. (Hudono)