DULU kita sering mendengar ungkapan sinis, orang miskin dilarang sakit. Ini hanya untuk menunjukkan bahwa betapa orang miskin akan bertambah menderita ketika mengalami sakit, lantaran tak punya biaya berobat.
Seharusnya, ungkapan tersebut sudah tak relevan lagi pada masa sekarang. Mengapa ? Karena pemerintah menjamin warganya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak. Bagaimana kenyataannya ?
Mereka yang tergolong ekonomi lemah alias miskin pun punya hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan manusiawi. Karenanya, kehadiran BPJS Kesehatan menjadi sangat relevan dan membantu. Mengapa ?
Baca Juga: Tidak ada yang menawar, Rubicon Mario Dandy belum juga laku pada lelang kedua
Mareka yang tidak mampu membayar iuran dengan uang pribadi, ditanggung pemerintah daerah setempat yakni melalui program PBI. Mereka tetap diikutkan sebagai peserta BPJS Kesehatan, sehingga mendapatkan hak untuk menerima layanan kesehatan di kelas 3.
Baru-baru ini Presiden menerbitkan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya antara lain mengatur Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Awam memahami dengan terbitnya KRIS ini maka tak ada lagi kelas-kelas dalam pelayanan rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan.
Anggapan ini ternyata keliru. Bahkan, Dirut BPJS Kesehatan Ghufron Mukti yang membantah langsung. Dikatakan, KRIS tidak menghaous kelas layanan BPKS Kesehatan. Tetap ada kelas 3, 2 dan 1. Lantas mengapa ada KRIS ?
KRIS dimaksudkan sebagai pedoman pelayanan standar yang harus dilakukan penyedia fasilitas layanan kesehatan. Artinya, baik kelas 3, 2 maupun 1, standar pelayanan medisnya sama.
Baca Juga: Terima DP4 Kemendagri, KPU Sukoharjo agendakan pemetaan TPS Pilkada 2024
Lantas, untuk apa tetap mempertahankan kelas yang notabene iurannya berbeda ? Itu ternyata hanya terkait dengan aspek nonmedis. Mereka yang hendak naik kelas, misalnya dari kelas 3 ke kelas 2 harus membayar selisih dari yang dijamin BPJS Kesehatan.
Namun, pelayanannya tetap sama dari aspek medis. Peserta BPJS Kesehatan yang ingin naik kelas biasanya hanya karena ingin mendapat kenyamanan dan ketenangan psikologis semata.
Misalnya, ruangannya lebih luas, ada tempat tidur penunggu dan sebagainya, itu hal-hal di luar faktor medis. Meski begitu, tetap perlu ada pengawasan agar Perpres No 59 Tahun 2024 ini benar-benar diterapkan tanpa diskriminatif. Jangan sampai ada diskriminasi pelayanan atas dasar status sosial dan besaran iuran. Masyarakat miskin tetap punya hak untuk mendapat layanan kesehatan secara layak dan manusiawi. (Hudono)