KASUS mutilasi suami terhadap istrinya baru-baru ini menggemparkan masyarakat Kabupaten Ciamis. Polisi telah menetapkan sang suami, Tarsum (51) sebagai tersangka pembunuhan dan mutilasi istrinya, Yanti (40).
Diketahui pelaku tinggal di Desa Cisontrol Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Aksi Tarsum kelewat sadis, setelah memutilasi istrinya, ia kemudian membagikan potongan tubuh ke tetangga.
Sedang menyangkut motifnya, polisi masih menyelidikinya. Ada dugaan kasus tersebut terkait dengan utang senilai Rp 100 juta. Namun, itu baru dugaan awal, pastinya masih menunggu penyelidikan mendalam. Sekilas kasus ini tidak masuk akal bila dilakukan orang waras. Bagaimana mungkin sudah memutilasi istrinya, masih membagi potongan tubuh ke tetangga.
Baca Juga: Merasa sangat optimis dan diplomatis, simak ramalan cinta zodiak Gemini dan Cancer Kamis 23 Mei 2024
Apakah Tarsum mengalami gangguan jiwa ? Masih perlu pemeriksaan ahli kejiwaan. Namun, dalam pemeriksaan, Tarsum nampak lancar menjawab pertanyaan polisi. Mungkinkah orang waras melakukaan perbuatan ‘gila’ ? Semua kemungkinan bisa terjadi, alangkah baiknya polisi mengundang ahli untuk terlibat dalam pemeriksaan ini.
Andai tersangka mengalami gangguan jiwa, gila, dipastikan bakal dilepas. Sebab, berdasar Pasal 44 KUHP, orang yang mengalami gangguan jiwa tak dapat dituntut secara hukum atas perbuatannya. Tapi boleh jadi, jiwa tersangka tidak stabil, acap waras, tapi di lain waktu terganggu jiwanya. Biarlah hal ini menjadi kompetensi hakim untuk memeriksanya.
Dalam beberapa kasus, tindakan mutilasi dilakukan pelaku pembunuhan untuk menghilangkan jejak. Pelaku tidak ingin perbuatannya diketahui orang lain. Biasanya, usai membunuh korbannya, pelaku kebingungan untuk membuang jenazahnya. Maka, timbullah niat untuk memutilasi korbannya. Harapannya, dengan memotong tubuh korban menjadi bagian kecil-kecil, akan memudahkan bagi pelaku untuk membuangnya.
Apakah dalam kasus mutilasi di Ciamis juga seperti itu ? Sulit menjawabnya. Sebab, boleh jadi, mutilasi itu sudah diniatkan sejak awal, bukan spontan. Soal niat ini tentu menjadi pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Agaknya, Tursam memiliki kelainan jiwa namun tidak bersifat absolut, artinya masih ada ruang bagi dia untuk berpikir normal. Masih ada ruang untuk menimbang apakah perbuatannya benar atau salah.
Tindakan polisi yang menahan Tursam sudah tepat, agar yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan, ruang tahanan selama menjalani pemeriksaan pun dipisahkan dari tahanan lain. Soalnya, kalau dia nekat bikin keributan misalnya, dikhawatirkan sulit dikendalikan. (Hudono)