INILAH yang ditunggu masyarakat, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi dalam memutus perkara batas usia minimal capres cawapres. Namun, boleh jadi, sebagian masyarakat kecewa atas putusan MKMK lantaran tidak mengubah apa-apa.
Putusan MK yang membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun namun pernah atau sedang menjabat kepala daerah menjadi capres maupun cawapres, tidak berubah. Tentu saja, karena MKMK tidak memeriksa atau mengadili putusan MK. MKMK di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie hanya memeriksa para hakim MK yang diduga melakukan pelanggaran etik.
Alhasil, Ketua MK Anwar Usman diputus melakukan pelanggaran berat, sehingga dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Baca Juga: Anda masih kesulitan mengolah daging supaya empuk? Lakukan langkah berikut ini
Ia dinilai melanggar Sapta Karsa Hutama, yakitu prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi serta prinsip kepantasan dan kesopanan. Sanksi terhadap Anwar paling berat dibanding delapan hakim konstitusi lainnya.
Hanya Anwar-lah yang melakukan pelanggaran berat. Anggota MKMK Bintan Saragih mengajukan dissenting opinion agar Anwar Usman tak hanya dicopot dari Ketua MK, melainkan juga dicopot sebagai hakim MK, namun ia kalah suara, sehingga putusannya Anwar dicopot dari Ketua MK. Selanjutnya yang bersangkutan tak boleh memeriksa perkara sengketa dalam pemilu hingga periodenya habis.
Dengan terbuktinya Anwar Usman melakukan pelanggaran berat etik, sama sekali tak mengubah putusan MK yang telah ia jatuhkan. Pasalnya, putusan MK bersifat final dan mengikat. Kita ingat ketika Akil Mochtar menjabat sebagai Ketua MK, yang kemudian ditangkap KPK lantaran menerima suap dari pihak yang berperkara dalam Pilkada.
Meski Akil dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan terbukti menerima suap dalam perkara pilkada yang ditanganinya, putusan MK yang ia jatuhkan tetap sah, final dan mengikat. Memang aneh, padahal jelas-jelas, putusan tersebut dijatuhkan oleh hakim yang menerima suap. Itulah konsekuensi dari konstitusi bahwa putusan MK final dan mengikat. Jadi, meskipun putusan itu mengandung suap dan kongkalkong, tetap saja sah dan harus dijalankan.
Itulah problem serius MK. Bila para hakimnya punya integritas moral yang tinggi, tentu tidak masalah, namun bila hakimnya bermasalah, bahkan terlibat korupsi, mengapa putusannya tetap sah ? Kiranya perlu evaluasi demi perbaikan MK di masa mendatang. (Hudono)