KASUS pengeroyokan santri oleh temannya sendiri di Temanggung menggegerkan masyarakat. Gara-gara korban sering mencuri uang teman sekamarnya, yang bersangkutan dikeroyok habis-habisan oleh 8 orang hingga meninggal dunia. Ironisnya, itu terjadi di sebuah pesantren di Desa Klepu Kecamatan Pringsurat Temanggung.
Polisi telah mengamankan 8 orang yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan, semuanya masih di bawah umur. Namun, lantaran kasusnya sangat berat, yakni penganiayaan hingga meninggal dunia, polisi menempuh penyelesaikan secara hukum, bukan restorative justice. Ini peristiwa kriminal berat yang pelakunya harus diproses hukum.
Boleh saja dari kalangan aktivis perlindungan anak tidak setuju dengan proses hukum yang kini dijalankan kepolisian.
Baca Juga: Indonesia mulai bangun TC Timnas, Erick: Ini cita-cita lama yang sudah ditunggu masyarakat
Namun, kalau sudah menyangkut nyawa, tak ada toleransi atau peluang untuk menyelesaikan secara musyawarah kekeluargaan, termasuk restorative justice. Mungkin para aktivis lupa betapa berat penderitaan korban dan keluarganya. Keluarga telah kehilangan nyawa salah satu anggotanya, sehingga selayaknya kasus tersebut diproses hingga ke pengadilan.
Proses hukum ini memang tidak merehabilitasi kondisi, karena korban sudah meninggal. Namun, paling tidak bisa menjadi semacam efek jera bagi pelaku. Hikmahnya, jangan sampai peristiwa serupa terulang lagi. Santri berhak mendapat perlindungan dan jaminan keamanan.
Kalaupun benar korban mencuri, tentu tidak disikapi dengan cara menganiaya, apalagi sampai meninggal dunia. Nah, dalam kasus ini karena peristiwanya terjadi di dalam pondok pesantren, para pengasuh atau pimpinan lembaga tersebut tetap harus dimintai keterangan, sejauh mana mereka mengawasi santrinya.
Baca Juga: Sertifikat kompetensi menjadi dokumen penting untuk melangkah ke jenjang pekerjaan
Diduga pengawasan di ponpes tersebut lemah, sehingga aksi kriminal itu bisa terjadi tanpa terdeteksi pengasuh. Inilah yang harus dibenahi di pesantren tersebut. Jangan sampai pesantren jadi tempat atau ajang pembantaian.
Sulit membayangkan betapa ngerinya ketika delapan orang santri itu melakukan penganiayaan terhadap temannya hingga meninggal.
Pesantren tentu tidak mengajarkan kekerasan, termasuk tindak main hakim sendiri. Kalau kemudian santrinya berbuat kriminal, patut kiranya dievaluasi sejauh mana efektivitas pembelajaran selama ini, termasuk di bidang agama dan budi pekerti. Para guru dan penyusun kurikulum harus melakukan evaluasi total tentang materi yang telah mereka ajarkan kepada santri.
Baca Juga: Menkominfo bertekad perangi pinjol ilegal dan judi online, begini caranya
Seharusnya, mereka tidak hanya belajar teori, tapi juga praktik yang diwujudkan dalam perilaku keseharian. Mengeroyok teman hingga meninggal di pesantren adalah persoalan serius yang tak boleh diabaikan. Sistem pembelajaran dan pengawasan di ponpres tersebut harus dievaluasi. (Hudono)