PERNAH dengar istilah puasa ‘ngebleng’ ? Itulah yang dilakukan seorang pedagang asal Pemalang Jawa Tengah, Jamsari (60). Konon ia sedang menjalani ritual untuk mendapatkan kesakstian.
Bersama tiga temannya, ia melakukan ritual di kawasan Kalimati, Parangkusumo, Parangtritis, Bantul. Namun, berbeda dengan tiga rekannya, Jamsari ingin menyempurnakan ritualnya dengan ngebleng tidak makan dan tidak minum selama tujuh hari.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi orang yang tidak kemasukan makanan dan minuman selama tujuh hari. Awalnya Jamsari bisa melaluinya, kemudian meminta rekannya untuk mencari kelapa muda buat diminum.
Baca Juga: Sertifikat kompetensi menjadi dokumen penting untuk melangkah ke jenjang pekerjaan
Usai minum kelapa muda itulah Jamsari kolaps, tak sadarkan diri hingga membuat rekan-rekannya bingung. Ketika diperiksa ke medis, yang bersangkutan dinyatakan sudah meninggal dunia.
Kematian Jamsari sungguh tragis, bukannya mendapat kesaktian, malah nyawanya melayang. Tentu ini pelajaran berharga buat siapa saja yang masih mempercayai puasa ngebleng sebagai cara untuk mendapatkan kesaktian. Entahlah, dari mana Jamsari mendapat ajaran tersebut. Tiga rekan Jamsari mestinya paham dan sadar bahwa yang dilakukannya tidak benar, selain merusak kesehatan dan bisa berakhir dengan kematian, juga bertentangan dengan ajaran agama.
Kiranya tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk puasa ngebleng tidak makan dan tidak minum selama tujuh hari. Lantas, itu ajaran dari mana ? Entahlah. Acap kita sering mendengar ada orang yang disebutnya sebagai ‘orang pintar’ yang mengajarkan ilmu neko-neko alias nyleneh yang sama sekali tidak diajarkan agama. Barangkali inilah yang terjadi pada Jamsari.
Baca Juga: Dukungan nyata Danone Aqua untuk difabel dan ABK Karanganom Klaten
Polisi perlu mengusut kasus ini hingga tuntas. Meskipun tidak ada tanda-tanda penganiayaan pada tubuh korban, bukan berarti tidak ada yang perlu diusut. Paling tidak, polisi bisa menanyai rekan-rekan korban yang melakukan ritual di Parangkusumo. Mestinya, ritual yang membahayakan keselamatan nyawa orang dihentikan. Begitu pula ritual yang menyakiti diri sendiri, tak boleh diteruskan.
Untuk mencegah jatuhnya korban lagi, polisi perlu menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama untuk memberi pemahaman bahwa ritual semacam itu tak dibenarkan agama, apalagi sampai membahayakan keselamatan.
Sudah saatnya ada kepedulian terhadap ritual-ritual yang tidak jelas (tak ada tuntunan), untuk kemudian dicegah jangan sampai jatuh korban.
Baca Juga: Tabungan Nasabah di BPR KRI Dijamin LPS, Dasuki dan Ibunya Sujud Syukur
Agama apapun sudah mengajarkan kepada umatnya bagaimana cara mendekatkan diri kepada Tuhan, juga bagaimana cara berdoa menyampaikan keinginan dan seterusnya. Jadi, tak perlu neko-neko yang membahayakan keselamatan. (Hudono)