DPR RI, dalam hal ini Komisi XIII berjanji mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi dan Korban. RUU tersebut merupakan perbaikan atau perubahan dari UU No 13 Tahun 2006 yang sebelumnya juga telah diubah.
Mengapa perlu diubah atau direvisi ? Karena dianggap belum mampu memenuhi hak-hak saksi maupun korban. Bahkan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku saat ini masih bersifat simbolik, bukan substantif.
Ada kesan seolah-olah perlindungan yang biberikan negara selama ini hanya terbatas pada perlindungan tempat aman maupun kerahasiaan identitas, padahal tidak hanya itu, melainkan juga perlindungan sosial maupun ekonomi. Inilah yang selama ini belum tercover dalam UU Perlindungan Saksi.
Singkat kata, UU yang berlaku sekarang lebih menitikberatkan pada aspek fisik semata, dan cakupannya masih terbatas. Padahal, seiring kompleksnya kejahatan penanganannya pun harus melibatkan multidisiplin dan multipihak. Saksi dan korban harus ditempatkan sebagai subjek hukum, bukan alat atau objek prosedur bekerjanya sistem hukum pidana.
Melalui pendekatan baru dalam perlindungan saksi dan korban, diharapkan mereka tidak merasa takut atau khawatir ketika memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang mereka alami. Selain itu, lebih penting lagi, ada mekanisme yang aman agar mereka yang hendak memberi laporan atau aduan tidak merasa terancam atau terintimidasi.
Berkaitan itulah diperlukan platform digital yang memudahkan masyarakat dalam memberi laporan tanpa rasa takut. Karenanya, negara harus hadir ketika ada warganya yang membutuhkan perlindungan hukum, baik sebagai saksi maupun korban. Ibaratnya, jangan sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah menjadi saksi dan meluangkan waktu, namun keselamatannya tidak terjamin.
Kehadiran UU Perlindungan Saksi dan Korban yang baru nanti diharapkan akomodatif dan mampu mengcover kebutuhan saksi dan korban. Bahkan, diupayakan ada mekanisme restitusi atau semacam ganti rugi pada korban. Kita juga perlu mendorong dimasukkannya pendekatan baru yang lebih berorientasi pada hak asasi manusia, inklusif dan responsif terhadap dinamika kejahatan modern.
Dalam konteks itu, perlindungan tidak hanya dimaknai sebagai keamanan fisik saja, melainkan juga mencakup pemulihan psikologis, pendampingan hukum, jaminan pendidikan, hingga akses kerja bagi korban agar dapat kembali bermasyarakat. (Hudono)