HARIAN MERAPI - Hati nurani atau suara hati berperan terutama saat seseorang akan mengambil sebuah keputusan dalam hidupnya. Hati nurani dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran moral seseorang dalam situasi yang konkret.
Artinya, dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup ini, pada diri seseorang ada semacam suara dalam hati untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan menuntut bagaimana merespon kejadian tersebut.
Suara hati yang baik, dapat menjadi panduan moral dan menuntun seseorang menjadi pribadi yang berperilaku positif dan konstruktif.
Baca Juga: Keutamaan itsar
Sebagai umat beragama, hati nurani ini dipercayai menjadi tempat Tuhan Sang Maha
Bijaksana mewahyukan diri secara hidup dalam hati seseorang. Hati nurani juga dapat dikatakan
sebagai sebuah perasaan moral dalam manusia, yang dengannya dia memutuskan mana yang baik dan jahat, dan mana yang menyetujui atau menyalahkan perbuatannya.
Berbagai perintah agama semisal shalat, puasa dan sebagainya dinilai sebagai cara yang paling tepat untuk mengasah hati nurani ini, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Kini semakin banyak anak-anak dan remaja yang kurang berkembang hati nuraninya,
sehingga meningkatkan kecenderungan mereka bertindak agresif dan antisosial. Hati nurani yang kuat—yaitu suara hati yang membedakan hal yang benar dan yang salah—merupakan landasan yang kuat bagi kehidupan yang baik serta perilaku beretika.
Riset yang dilakukan Barbara Stilwell, dkk berkaitan dengan perkembangan hati nurani memberi gambaran mengenai benih-benih kekerasan.
Baca Juga: Relawan SPPG di Wilayah Karanganyar Dilatih Keselamatan Kerja
Mereka menemukan bahwa rata-rata anak usia lima belas tahun masih menunjukkan adanya
“kebingungan hati nurani”, yang membatasi kemampuan mereka melakukan pemikiran bermoral dan mengapresiasi konsekuensi tindakannya secara tepat dan proporsional.
Krisis hati nurani, yang meminjam istilah Sukanto dan A. Dardiri Hasyim dengan kemiskinan
mental, dapat diobati dengan pembaharuan iman sebagai media nafsio terapi.
Dalam wawasan nafsiologi, iman yang lemah atau salah pembinaannya merupakan sebab utama dari hampir seluruh penyakit dan gangguan nafsiyyah, termasuk di dalamnya pada kehidupan pribadi seorang anak dan remaja.
Untuk menuju kepada ketebalan dan kekokohan keimanan seseorang haruslah mendirikan dua poin besar selama bulan Ramadhan ini yang disebut dengan valensi positif dan valensi negatif.
Valensi positif adalah ketika seorang anak dan remaja benar-benar mengarahkan diri dengan
kesadaran sebenar-benarnya menuju kehendak ilahi, artinya apapun yang Ilahi inginkan dan
perintahkan ia akan menjalaninya tanpa adanya negosiasi dan demoisasi.