SEORANG laki-laki paruh baya, SM (44) nekat melakukan onani di sebuah musala kampus di kawasan Caturtunggal Depok Sleman baru-baru ini. SM nyaris dihakimi massa sebelum akhirnya diamankan petugas. Aksi asusila itu ternyata telah dilakukan sebanyak dua kali.
Ia melakukan tindakan asusila itu di depan seorang mahasiswi kampus tersebut. Sang mahasiswi ini pun sempat merekam adegan pelaku saat tiduran di karpet musala kampus. Berikutnya, korban melapor kejadian tersebut ke keamanan setempat.
Para mahasiswa yang marah sempat hendak menghajar SM, namun berhasil diselamatkan petugas keamanan, selanjutnya pelaku dibawa ke Polsek Depok Barat untuk diinterogasi. SM mengakui terus terang perbuatannya. Namun, setelah diinterogasi, pelaku menyerahkan SM kepada keluarganya untuk dibina. Kepolisian tidak memproses hukum pelaku dengan berbagai pertimbangan, antara lain karena masih dapat dibina.
Baca Juga: 3 Faktor yang Diklaim Wamendagri Jadi Penyebab Mudik Lebaran 2025 Lebih Lancar dari Sebelumnya
Apa yang dilakukan SM jelas tidak wajar. Kalau dicermati, seolah tidak ada korban dalam peristiwa tersebut. Sebab, SM tidak menyentuh korbannya sama sekali. Pelaku boleh jadi hanya membayangkan atau berimajinasi di depan korban, tanpa menyentuh. Sehingga aksi SM masuk kategori onani atau bisa dipakai istilah swalayan seks. Boleh jadi, SM mengalami kelainan seks. Ia mungkin merasa terpuaskan hanya dengan melihat korban tanpa menyentuhnya.
Namun, apakah tindakan tersebut tak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ? Tindakan SM tetap masuk kategori pidana, karena merusak kesusilaan di depan umum. Seperti halnya kasus eksibisionisme, pelaku hanya mempertontonkan alat kelaminnya tanpa menyentuh korban, sudah masuk kategori tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 282 KUHP tentang merusak kesopanan atau kesusilaan di depan umum.
Dalam kasus di atas, polisi mungkin mengambil langkah diskresi mengingat korban tidak melakukan tuntutan dan pelaku belum melakukan perbuatan lebih lanjut. Padahal, kalau hendak diproses hukum, sangatlah mungkin. Atau boleh jadi polisi menggunakan mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif lantaran korban memaafkan pelaku.
Kita tetap menyebutnya sebagai kejahatan susila. Ironisnya itu dilakukan di tempat ibadah, apalagi di lingkup kampus yang notabene banyak mahasiswa beraktivitas. Kabarnya, MS alumnus kampus tersebut. Dari kejadian itu, pengamanan di musala kampus tetap harus dilakukan, karena penjahat kelamin dapat beraksi di mana saja. Syukur bila di musala telah dipasang kamera CCTV sehingga semua aktivitas di dalamnya dapat terekam. (Hudono)