MASYARAKAT dibuat bingung dengan pernyataan dua pejabat negara yang berbeda terkait netralitas dalam Pilkada 2024. Menkopolhukam Budi Gunawan mengatakan pejabat negara, termasuk menteri harus netral, sedang Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Hasbi mengatakan netralitas hanya berlaku bagi para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
Berarti presiden dan menteri boleh tidak netral ? Hasan Hasbi yang juga mewakili Istana hanya menyebut bahwa presiden maupun menteri boleh meng-endorse calon, bahkan berkampanye untuk calon, namun harus memenuhi syarat. Yakni, tak boleh menggunakan fasilitas negara dan tak boleh kampanye menggunakan hari kerja. Artinya, kalau mereka hendak berkampanye maka harus cuti.
Dengan demikian, pejabat negara harus netral sebagaimana dikatakan Menko Polhukam Budi Gunawan, bukan harga mati. Mereka tetap dapat berkampanye asal memenuhi syarat di atas. Logikanya, baik presiden maupun menteri umumnya berasal dari partai politik, sehingga mereka tidak kehilangan hak politiknya, termasuk mendukung calon yang diajukan partainya.
Baca Juga: Kotak suara dibakar di Jambi, KPU sedang mendalami kasusnya, ini penyebabnya
Masalahnya terletak pada, kapan hak tersebut digunakan tanpa menyalahi aturan ? Hasan Hasbi sebenarnya telah mengingatkan rambu-rambunya, yakni tidak menggunakan fasilitas negara dan tidak di saat hari kerja. Kalau hendak menggunakan hak politiknya saat hari kerja, maka yang bersangkutan harus cuti. Untuk merealisasikan ketentuan tersebut rasanya tidak mudah. Mengapa ?
Dalam praktiknya, berdasar pengalaman sebelumnya, acap pejabat negara tidak bisa menghindari penggunaan fasilitas negara, sehingga urusan menjadi campur aduk, antara kepentingan negara dan kepentingan parpol. Untuk itulah kita mengharapkan Bawaslu untuk mengawasi berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran peggunaan fasilitas negara.
Lantas, bagaimana dengan ASN, TNI dan Polri ? Kepada mereka diberlakukan aturan yang lebih rigit, apapun kondisinya harus netral. Rasanya sulit diterima logika, ketika atasan (menteri maupun presiden) tidak bersikap netral, sementara mereka harus netral. Sebagai contoh, saat pejabat negara, menteri misalnya, mengambil cuti untuk berkampanye, boleh jadi mereka meminta bantuan bawahannya yang notabene berstatus ASN untuk membantunya.
Karena ada relasi kuasa antara atasan-bawahan, para ASN ini dalam posisi dilematis, di satu sisi menghadapi atasannya, di sisi lain ia dituntut netral, hal yang tidak gampang. Untuk hal demikian inilah Bawaslu memegang peran sentral mendorong agar prinsip-prinsip demokrasi dan netralitas ASN dipertahankan agar pilkada berkualitas. (Hudono)
| BalasTeruskan Tambahkan reaksi |