Keempat, keluhuran budi adalah amal pekerjaannya. Kalau mengikuti doa-doa
Rasulullah SAW di mana beliau bermunajat kepada Allah dengan kerendahan dan kesopanan,
terungkap nyata kepada kita betapa kecondongan beliau mengarah kepada keluhuran budi, jiwa dan amal.
Beliau dalam doa-doanya tidak memohon kepada Allah untuk kepentingan pribadi (”human interest”), tidak pula bersifat khusus, tidak pula karena keinginan nafsu, melainkan
berdoa untuk mengingatkan jiwa dan meninggikan budi pekerti.
Kelima, derita manusia adalah kebaktian ibadahnya. Rasulullah adalah seseorang yang sangat ingin membantu mengentaskan orang lain dari deritanya, dan itulah ibadah yang beliau utamakan.
Dikisahkan ada seorang sahabat bernama Utsman bin Madh’un RA, beliau sahabat yang sangat terhormat. Beliau termasuk sahabat yang ”berlebihan” dalam beribadah,
dirinyapun tidak lagi dikasihani, yang terfikir hanya ibadah saja, sampai-sampai pada suatu hari berkeinginan untuk mengebiri dirinya dengan maksud untuk mengakhiri secara tuntas panggilan nafsu birahi yang ada pada dirinya.
Dengan pendekatan yang sangat arif, Rasulullah akhirnya dapat ”meluruskan” cara berfikir yang salah dari Utsman bin Madh’un ini. (Oleh : Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si, Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta, Sekretaris Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) DIY) *