DALAM bulan Ramadan tahun ini kembali marak perang sarung yang melibatkan remaja. Beberapa hari lalu jajaran kepolisian Semin Polres Gunungkidul menggagalkan perang sarung yang nyaris pecah di ruas Jalan Karangmojo-Semin. Polisi mengamankan sekelompok remaja yang membawa sarung yang tergulung dan berisi benda keras di ujungnya.
Bila mengenai orang akibatnya bisa serius. Untungnya polisi bertindak cepat dan mengamankan sekelompok remaja tersebut. Selanjutnya mereka mendapat pembinaan dengan mendatangkan keluarganya. Polisi masih melakukan langkah persuasif edukatif terhadap sekelompok remaja yang nyaris terlibat perang sarung.
Dilihat namanya, perang sarung mengesankan hal sepele karena dalam perang tersebut hanya menggunakan senjata sarung. Padahal, sarung tersebut telah diisi dengan batu maupun besi pada ujung gulungan. Bila mengenai orang, hampir bisa dipastikan orang tersebut akan mengalami luka-luka serius.
Baca Juga: Bayern bukan hanya tentang Harry Kane, Arteta : Mereka adalah tim yang tangguh
Dalam kasus di atas perang sarung memang belum terjadi karena keburu ditangkap petugas. Artinya, seandainya polisi tidak mencegahnya, perang sarung di Jalan Karangmojo-Semin benar-benar terjadi. Apakah dengan demikian para remaja tersebut dapat dijerat hukum ? Sebenarnya, kalau mau tegas, polisi tetap dapat menindaknya, karena mereka membawa senjata yang berbahaya, yakni gulungan sarung yang telah diisi benda keras.
Meski bukan senjata tajam, seperti golok atau celurit, namun gulungan sarung berisi benda-benda keras itu dapat melukai orang lain. Kita tentu mengapreasiasi langkah cepat polisi yang langsung mengamankan para remaja tersebut sehingga perang sarung dapat dicegah. Remaja mestinya belajar dengan membawa buku atau bahan ajar lain, bukannya malah terlibat tawuran.
Apa yang dilakukan para remaja tersebut sebenarnya merupakan bentuk kejahatan jalanan atau semacam klitih, sehingga meresahkan masyarakat. Yang kita herankan, fenomena perang sarung ternyata tidak hanya terjadi Yogya, namun juga daerah lain di Jawa Tengah. Boleh jadi mereka sedang mencari jati diri karena kondisi psikologinya tidak stabil.
Celakanya, para orang tua abai terhadap mereka. Dikiranya dengan memberi uang jajan, tanggung jawab orang tua sudah selesai. Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Bahkan, orang tua memberi motor untuk mereka. Lengkaplah sudah potensi mereka untuk nakal atau melanggar hukum. Jika demikian, orangtua dan guru tak boleh berpangku tangan dan menganggap itu kejadian biasa. Anak-anak tak boleh dibiarkan berkeliaran di jalan. (Hudono)