BELAKANGAN ini aksi bunuh diri marak di sejumlah daerah. Penyebabnya beragam, mulai dari depresi, sakit yang tak kunjung sembuh, hingga putus cinta. Pelaku atau kita sebut sebagai korban merasa tak kuat menghadapi hidup sehingga memilih mati. Bolehlah kita sebut, sesungguhnya mereka pengecut, karena berani mati tapi tak berani hidup.
Bila kita cermati, pelaku tak hanya berasal dari keluarga tak mampu secara ekonomi, namun juga dari keluarga berada, bahkan ada pula dari kalangan intelektual, mahasiswa. Pun ada yang berasal dari kalangan penegak hukum seperti yang baru-baru ini terjadi di Wonogiri Jawa Tengah.
Seorang polisi berpangkat Bripda ditemukan tewas tergantung di asrama Dalmas Polres Wonogiri. Ia ditemukan teman-teman asrama sudah dalam kondisi tergantung tak bernyawa.
Baca Juga: Dihadiri Presiden Joko Widodo, puncak Harlah ke-101 NU siap digelar di UNU Yogyakarta
Tak ada yang mengira, MR asal Sragen ini bakal mengakhiri hidup dengan cara tragis. Hasil pemeriksaan forensik tak ditemukan tanda-tanda penganiayaan, melainkan hanya bekas jeratan pada leher korban yang diduga gantung diri.
Lantaran tak ada tanda-tanda penganiayaan dan mengarah pada kasus bunuh diri, maka tak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Meski begitu, polisi masih menyelidiki motif pelaku berbuat demikian. Tentu ini penting agar kasus serupa tak terulang.
Sebab, dilihat dari sudut ekonomi, untuk seorang polisi berpangkat Bripda tentu sudah layak untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Terkecuali bila yang bersangkutan punya keinginan memiliki harta di luar kewajaran. Kalau bukan motif ekonomi, bisa pula motif lain misalnya masalah keluarga, asmara dan sebagainya. Tentu ini harus diselidiki aparat kepolisian.
Baca Juga: Kebutuhan air bersih wilayah kekeringan di Sukoharjo kini sudah terpenuhi setelah turunnya hujan
Kasus bunuh diri yang menimpa polisi yang notabene aparat penegak hukum, tentu menjadi sangat fenomenal. Mengapa ? Karena pelaku seharusnya orang yang bisa menjadi contoh atau teladan bagi yang lainnya. Untuk menjadi polisi, melalui seleksi yang ketat, bukan saja ujian fisik, tapi juga mental, termasuk ketahanan hidup.
Boleh jadi, secara fisik MR kuat, namun secara mental rapuh sehingga tak kuat menghadapi tantangan hidup. Sehingga, dipilihlah cara instan dengan membunuh diri sendiri. Tentu ini bukan penyelesaian, melainkan lari dari masalah yang seharusnya ia hadapi.
Pendidikan selama berada di korps kepolisian agaknya tak cukup menjadikan ia polisi tangguh, sebaliknya malah rapuh. Kita sebut ini sebagai oknum, karena bukan kencenderungan umum di kepolisian. (Hudono)