KASUS tewasnya seorang pesilat di Karanganyar baru-baru ini sungguh mengundang keprihatinan mendalam. Ada kesan seolah-olah ini terjadi di luar kendali perguruan silat bersangkutan. Adalah WA (14) warga Cangakan Karanganyar yang menjadi korban seniornya.
Ia mendapat hukuman lantaran gagal membawa siswa baru di perguruan silat tersebut.
Akibatnya, oleh lima seniornya, WA dihajar dengan cara dipukul dan ditendang hingga mengenai organ vital, seperti pankreas, ginjal dan hati.
Baca Juga: Kemenkes Tepis Nyamuk Ber-Wolbachia Membawa Virus LGBT
Ironisnya, meski mengetahui WA tersungkur dan tak berdaya, pelaku hanya membiarkan saja dan korban hanya diberi air mineral. Sekitar satu jam WA dibiarkan tergeletak di halaman sekolah tempat latihan.
Selanjutnya, ketika pelaku membawa ke rumah sakit, WA tak lagi bisa ditolong. Murid silat itu meninggal dunia di tangan para seniornya. Polisi pun menetapkan lima senior WA, di antaranya masih di bawah umur, sebagai tersangka penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal.
Andai para penganiaya ini cepat memberi pertolongan dan tidak membiarkan korban terkapar, mungkin nyawanya masih bisa ditolong. Orangtua WA sangat menyayangkan mengapa para pelaku tak segera memberi pertolongan kepada anaknya.
Baca Juga: OTT di Maluku Utara, KPK Tangkap 18 Orang Termasuk Gubernur Abdul Gani Kasuba
Kasus di atas menjadi pelajaran sangat berharga bagi perguruan silat. Hukuman fisik—diistilahkan doweran—akibat siswa baru tak bisa menarik teman menjadi anggota, mestinya dihilangkan.
Boleh saja pengurus perguruan silat mengatakan bahwa doweran sudah dihilangkan, tapi nyatanya masih terjadi dan memakan korban.
Pengurus perguruan silat kiranya juga tak bisa lepas tangan, seolah-olah aksi lima para senior WA di luar kendalinya.
Baca Juga: Gubernur DIY Sri Sultan resmikan embrio wisata baru di Bukit Watu Gagak Wukirsari Imogiri Bantul
Bagaimanapun mereka adalah anggota perguruan silat yang tentu saja harus taat dengan aturan di internal mereka. Sudah seharusnya pengurus perguruan silat mengawasi atau memantau anggotanya yang senior dalam melakukan latihan atau melatih juniornya, termasuk dalam memberi sanksi atau hukuman.
Kejadian tersebut merupakan preseden buruk dalam sistem pembinaan di perguruan silat. Momentum ini seharusnya menjadi bahan evaluasi perguruan silat manapun untuk tidak membiarkan terjadinya kekerasan yang mengancam keselamatan nyawa. Kalaupun hendak menjatuhkan sanksi, mestinya terukur dan tak sampai menyebabkan tewasnya peserta.
Kasus tersebut juga menjadi pelajaran bagi para pengurus perguruan silat untuk menerapkan manajemen keselamatan seluruh anggotanya. Berlatih fisik secara keras boleh saja, asalkan tidak menyebabkan nyawa melayang. (Hudono)