Saat itu, ia mencoba memfokuskan kembali pandangannya, lalu pelan-pelan kembali terang, dan..
Bagai petir di siang bolong, Seri melihat, banyak, banyak sekali makhluk, berbagai bentuk dan rupa, tidak ratusan, pasti ribuan, tidak terhitung.
Mereka menatap Sri dan yang lain, menatap rumah Mbah Tamin, mereka mengepung rumah kecil di tengah hutan ini.
Baca Juga: Sewu Dino Bagian 13: Mbah Tamin Pulang, Tapi Benarkah?
Sampai Sri tak sanggup lagi melihatnya, Mbah Tamin paham, dan kembali menutup penglihatan batin Sri.
Mbah Tamin menerawang, mengarahkan pandangannya ke arah gelapnya hutan,
“Sedo bengi mangkuk nang rogo, iku ngunu undangan gawe lelembut (Raga yang dibuat mati, adalah sebuah undangan bagi bangsa jin),” kata Mbah Tamin.
“Awakmu lali perintahku Sri, iku ngunu bahaya, isok mateni Dela, ojok sampe lali maneh yo Sri (Kami lupa perintahku Sri, itu berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan sampai terulang lagi ya),”
Erna yang dari tadi diam saja, ia ikut bicara, “Mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh Sri (Kek, tolong kasih tahu apa yang terjadi dengan Dela, kok bisa dia mau membunuh saya dan Sri),”
Baca Juga: Presiden : Pelaku Perjalanan Dalam dan Luar Negeri Tidak Perlu Tes PCR
Mbah Tamin, dalam duduknya, mengatakan, “Berarti wes ndelok (Berarti sudah melihat),”
“Iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok, mergane Cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo (Itu adalah Cayajati, yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa, sebab ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami istri),”
“Santet Sewu Dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati (Santet Seribu Hari, hanya dimiliki oleh orang yang siap menanggung dosa dan siap mati bersama),” Mbah Tamin mengakhiri penjelasannya.
Sri dan Erna masih bingung, tidak mengerti penjelasan Mbah Tamin, Santet Sewu Dino, santet macam apa yang sebiadab ini? Hingga menyiksa korbannya begitu rupa.
Baca Juga: Kabar Gembira! Presiden Izinkan Masyarakat Lepas Masker, Tapi....