Suasana malam itu berubah sunyi, sungguh senyap, Nur merasa ngeri sendiri.
Perasaan tidak enak kembali muncul, dan hal itu membuat Nur lebih awas lagi, ada apa lagi ini.
Ketika Nur berusaha mengalihkan perhatian, menutup rasa takutnya sendiri, di tengah temaram cahaya petromak, ujung sudut atas sekat, ia memperhatikan ada sesuatu di sana.
Sosok hitam bermata merah mengintipnya. Sosok yang sejak observasi, dan ketika ia, Ayu, dan Widya berdebat di luar, sudah mengintainya, datang lagi.
Nur beringsut, mulutnya tercekat, secepat kilat selimut yang ia bawa ditutupkan ke wajah, Nur ngeri sendiri.
Baca Juga: Kesultanan Banten 10: Islam Jadi Pilar Pendirian Kesultanan, Toleransi Umat Beragama Berkembang Baik
Wajah hitam dengan mata merah terus terbayang dalam pikiran Nur. Dadanya berdegup kencang.
Ia semakin tersudut dalam ketakutan, mulutnya pun merapal Ayat Kursi, ajaran kiainya untuk menolak rasa takut.
Menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk melawan.
Setiap kali ayat itu selesai dibaca, selalu diiringi dengan suara papan kayu yang digebrak, keras suara yang terdengar tidak beraturan itu.
Baca Juga: PPKM Berlanjut untuk Jaga Momentum Pengendalian Pandemi Covid-19
Nur mulai menangis, ia tahu, makhluk itu masih ada di sana, dengan mata merahnya, menatap tajam ke arah Nur.
Gebrakan itu, seperti dia tidak terima dengan apa yang dilakukan Nur.
Tapi, apa Nur salah? Salahkah ia meminta tolong kepada Tuhan? Salahkah?
Tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan suara itu menghilang, makhluk itu sirna, hilang, suasana menjadi senyap.