“Koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampai setengah jam iku mau (Kamu ini kok keras kepala, sudah dibilang, tidak sampai setengah jam tadi kita naik motor),” Ayu ketus.
Baca Juga: Kesultanan Banten 10: Islam Jadi Pilar Pendirian Kesultanan, Toleransi Umat Beragama Berkembang Baik
Nur masih melihat, tidak ikut bicara apapun, pikirannya justru fokus pada hal lain, pada sosok hitam itu, sosok genderuwo yang terus mengintai mereka, ada apa, untuk apa?
Tapi, tiba-tiba Widya mengatakan sesuatu yang Nur tidak bisa mengelak untuk menjawabnya.
“Awakmu mau krungu to gak, onok suara gamelan nang tengah alas mau? (Kamu tadi dengar tidak, ada suara gamelan tadi di tengah hutan?),” Widya bertanya pada Nur.
Justru Ayu lah yang dengan nada mengejek, menjawab pertanyaan Widya.
Baca Juga: Tekuk Celta Vigo 3-1, Barcelona Segel Posisi Runner Up
“Halah, palingan yok onok acara nang deso tetangga, opo maneh (Paling ada acara di desa tetangga, apa lagi),”
Nur pun berucap menjawab Ayu. “Yu, gak onok loh deso maneh nang kene (Yu, tidak ada lagi desa lain di sekitar sini),”
“Jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek (Kata orang dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk),”
Baca Juga: Kabar Duka, Musisi Bollywood Shivkumar Sharma Meninggal Dunia
Tidak ada jawaban lagi, malam itu berakhir, dengan perdebatan dalam hati masing-masing. Sebuah pertanda buruk, tentang apa yang bakal mereka hadapi.
“Yu, aku kepingin ngomong karo kowe (Yu, aku ingin bicara sama kamu),”
“Opo Nur?” Ayu menjawab, terus keduanya berjalan ke pawon.
Wajah Nur masih tegang, ia tidak salah, matanya juga tidak, makhluk itu.