Media digital idealnya mengedepankan kualitas konten, namun tetap berorientasi pada traffic

photo author
- Rabu, 20 September 2023 | 09:44 WIB
Suasana acara “Revolutionary Journalism Featuring Universities” di UMY.  (Foto: Dok.BHP UMY)
Suasana acara “Revolutionary Journalism Featuring Universities” di UMY. (Foto: Dok.BHP UMY)



HARIAN MERAPI – Sekitar sepuluh tahun terakhir, masyarakat Indonesia yang menggunakan internet telah naik dari 39,6 juta menjadi 212,9 juta pengguna.

Artinya pula industri digital di Indonesia semakin meluas, apalagi didukung oleh banyaknya masyarakat yang memiliki lebih dari satu perangkat untuk mengakses internet.

Perkembangan digital seperti terkait jaringan internet, aplikasi/platform digital hingga media sosial yang semakin masif biasa disebut juga era disrupsi.

Baca Juga: Begini Cara Kabupaten Kulon Progo Cari Bibit Kambing Peranakan Etawa Berkualitas

Demikian diungkap praktisi media digital, Ikhwanul Habibi saat menjadi pembicara dalam acara “Revolutionary Journalism Featuring Universities” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (19/9/2023).

Selain itu diungkap pula oleh Habibi, adanya perubahan besar pada era disrupsi menimbulkan banyak dampak, baik bagi masyarakat maupun media.

Dominasi dari platform global seperti Google dan Meta juga menimbulkan persoalan baru. Karena, kuantitas dari konten lebih diutamakan.

“Maka mulai bermunculan media yang kurang mementingkan kualitas, apalagi banyak konten berita yang tidak dibuat oleh wartawan,” paparnya.

Baca Juga: Mengaku Tidak Dekat dengan Konglomerat, Begini Penjelasan Anies Baswedan

Lalu soal pencurian konten dan pengabaian hak cipta, lanjut Habibi, juga menjadi perhatian bagi media yang mulai bertransformasi secara digital.

Tidak seperti media mainstream yang dibatasi oleh banyak regulasi seperti Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menjamin kualitas konten.

Sedangkan platform digital terutama media sosial tidak memiliki pedoman ataupun regulasi apapun. Kebanyakan media sosial hanya memiliki panduan komunitas, yang tak mengatur terkait hak cipta bagi pembuat konten.

“Selain itu, karena kurangnya proses penyaringan dari platform digital juga menjadi salah satu kekurangan yang menyebabkan penggunanya terpapar disinformasi atau hoaks,” ungkap Habibi.

Baca Juga: Kolaborasi JNE Bersama Tab Space dan Grammars, Angkat Karya Seniman Disabilitas di Bandung

Dengan fenomena seperti ini, sebutnya, media yang ideal dan dapat bertahan di tengah disrupsi digital adalah media yang mengedepankan kualitas konten, namun juga tetap berorientasi pada traffic.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X