Lalu, Alquran dan Kita Taqrib yang juga disampan dalam kaca. Bale-bale tempat sholat, termasuk kursi dan meja yang menjadi tempat duduk Pangeran Diponegoro saat perundingan dengan Jenderal De Kock pada 28 Maret 1930.
Juga ada lukisan Raden Saleh yang dipajang di dinding. Lukisan mengisahkan penangkapan Pangeran Diponegoro di depan gedung Karisidenan.
Setelah mengulik berbagai sejarah, para jurnalis melanjutkan perjalanan ke Temanggung. Usai sholat berjamaah di Masjid Agung Darussalam, awak media meneruskan perjalanan terakhir di Masjid Langgar Agung Pangeran Diponegoro di Salaman, Kabupaten Magelang.
Peserta touring menyusuri jalur perbukitan melewati Tembarak Selopampang –Windusari – Jalan Raya Bandongan – Pasar Tempuran – Jalan Magelang- Purworejo, dan berakhir di Langgar Agung Pangeran Diponegoro di Salaman.
Lokasinya di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Magelang. Berada di kompleks Pondok Pesantren Putra-Putri Nurul Falah.
Langgar Agung semula adalah tempat mujahadah Pangeran Diponegoro. Tempat ini kemudian dipugar dan diresmikan pada 8 Januari 1972 di antara oleh Gubernur Jateng Mayjen Munadi, Gubernur Akabri Mayjen Sarwo Edi.
Masjid ini berdiri di kawasan yang dahulu merupakan bagian dari hutan belantara dan diyakini sebagai lokasi penting dalam perjalanan perjuangan Pangeran Diponegoro. Dalam tradisi lisan masyarakat setempat, disebutkan bahwa tempat ini pernah digunakan oleh pasukan Diponegoro untuk menunaikan sholat sebelum melakukan perundingan dengan pihak kolonial Belanda di Magelang.
Bangunan awalnya berupa tatanan batu sederhana sebagai alas salat yang dalam konteks budaya lokal disebut langgar. Ukurannya kecil dan sangat sederhana, namun keberadaannya memiliki nilai spiritual dan historis yang kuat.
Baca Juga: Yuk Berwisata ke Desa Bakti BCA, Tiga di Antaranya Ada di Yogyakarta
Seiring berjalannya waktu, kawasan tersebut kemudian berkembang dan pada tahun 1960-an dibangunlah pondasi masjid dengan tetap mempertahankan posisi pengimaman di atas tatanan batu yang dianggap sakral tersebut. Pembangunan masjid rampung pada tahun 1972 dan diberi nama Langgar Agung.
Secara arsitektural, masjid ini masih mempertahankan kesederhanaan bentuk, namun kaya akan makna simbolik. Ia bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan keagamaan dan peringatan sejarah. Setiap tanggal 8 Januari, masyarakat setempat rutin mengadakan peringatan Haul Pangeran Diponegoro, sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa perjuangan tokoh nasional tersebut. Kegiatan haul bahkan dilaksanakan secara besar-besaran setiap dua tahun sekali, disertai dengan berbagai kegiatan bernuansa Islam.
Baca Juga: PT Djarum Genjot Pembangunan 1.500 Unit Sanitasi Aman dan Akses Air Bersih untuk Warga Kudus di 2025
Masjid Langgar Agung juga menjadi bagian integral dari lingkungan pendidikan, karena terletak di tengah kompleks MA/MTs Diponegoro. Hal ini semakin memperkuat posisinya sebagai ruang edukatif yang menggabungkan nilai keagamaan dan sejarah perjuangan bangsa.
Meskipun belum sepopuler destinasi sejarah lain di Magelang seperti Museum Diponegoro atau Museum Jenderal Soedirman, Masjid Langgar Agung menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah dan religi. Lokasi ini dapat menjadi ruang pembelajaran kontekstual bagi generasi muda tentang pentingnya semangat perjuangan dan nilai spiritual dalam sejarah bangsa Indonesia.