Menurutnya masyarakat Yogyakarta telah melihat ada upaya dari berbagai pihak untuk menggunakan gaya yang dilakukan dalam Pilkada Jakarta pada tahun 2017 untuk pertarungan Pilpres 2024.
“Oleh karenanya masyarakat Yogyakarta menolak semua praktik politik indentitas dalam proses demokrasi di Indonesia. Kami menolak politisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Politik yang mengembangkan propaganda keagamaan sempit sebagai jalan untuk meraih kekuasaan berpeluang merusak sendi-sendi kebangsaan, menyulut konflik sosial dan bahkan berpotensi mengganti idiologi bangsa ini,” seru Agung.
Dalam pernyataan sikapnya, Sikatlindas juga mendorong para politisi untuk mengedapankan nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan kerakyatan dalam menyusun agenda-agenda politiknya.
“Kami dari lapisan elemen mahasiswa menolak keras yang namanya politik identitas di Yogyakarta. Kami mahasiswa sekaligus pendatang di Yogyakarta mengutuk keras dengan politik identitas dan polarisasi agama yang dimainkan oleh kolempok-kelompok politik yang mengabaikan nilai-nilai kebhinnekaan,” tandasnya.
Masa Sikatlindas juga meminta kepolisian agar meningkatkan pengamanan di Yogyakarta untuk mengantisipasi masuknya isu dan propaganda politik identitas, terutama politisasi agama.
“Kami menolak keras jika masyarakat dijadikan tumbal atau dikambinghitamkan oleh para politikus yanghaus kekuasaan. Yogyakarta bukan arena adu identitas dan bukan tempat mengobral tafsir keagamaan yang sempit untuk tujuan kekuasaan politik,” tegasnya.
Aksi yang melibatkan bregodo mengenakan busana adat Jawa lengkap dan berlangsung di tengah hujan lebat, menarik perhatian pengguna jalan yang melintas Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta.
Kendati hujan lebat, masa aksi tetap melangsungkan mimbar bebas di atas mobil komando dan membentangkan berbagai poster dan yang bertuliskan kutipan pernyataan sikap. Puluhan personel Polresta Yogyakarta juga tampak mengamankan jalannya aksi. Setelah menggelar aksi selama satu jam lebih, masa aksi membubarkan diri dengan tertib. *