SLEMAN, harianmerapi.com - Remaja Bermasalah Sosial (RBS) dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi seluruh instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat harus dilibatkan.
Apalagi persoalan RBS dan ABH sangat berdampak pada mental maupun masa depan generasi muda sebagai penerus masa depan bangsa dan negara.
Sugiyanto, Ketua Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) DIY menyampaikan, RBS sangat berpengaruh ke masalah kejiwaan.
Mereka akan mengalami gangguan kebebasan belajar, berkomunikasi, bermain, rekreasi, bermasyarakat maupun dampak lain.
“Dampak dari RBS ini perlu ditangani serius. Bahkan menjadi perhatian masyarakat, perusahaan, NGO, pemerintah, media hingga relawan," kata Sugiyanto pada kegiatan Temu Jejaring yang diselenggarakan Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Dinas Sosial DIY di Beran, Tridadi, Sleman, Kamis (23/6/2022).
Dijelaskan, generasi muda yang mengalami RBS akan melampiaskan ke hal-hal negatif termasuk perkelahian antar kelompok, kriminalitas jalanan (klitih) maupun perilaku lain yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Baca Juga: Anggota DPRD Kulon Progo Dua Bulan Tak Masuk Kerja, BK Ambil Tindakan
Di sisi lain, media sosial (medsos) menjadi salah satu tempat pelarian dan penyebab rusaknya kesehatan mental remaja yaitu melalui perbandingan sosial.
Remaja di media sosial menghabiskan banyak waktu untuk mengamati kehidupan dan citra teman sebayanya.
“Dampak medsos akan mengarah pada perbandingan konstan, merusak harga diri dan citra tubuh, menyebabkan depresi, perbandingan sosial online serta melaporkan harga diri dan evaluasi diri yang lebih rendah ketika melihat posting teman sebaya,” ujarnya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Hudono SH menjelaskan, dalam memberitakan kasus kriminal menyangkut anak maupun remaja media wajib mengedepankan kode etik jurnalistik.
Baca Juga: Belasungkawa Mendalam dari Para Tokoh atas Meninggalnya Rima Melati
Hal ini tertuang dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (Peraturan Dewan Pers No 6/V/2008) yaitu wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.