Tapi, seiring berjalannya waktu, ternyata, mereka yang menari akan ditumbalkan.
Masalahnya, mereka yang ditumbalkan itu, adalah penari, anak gadis desa ini, perempuan muda yang perawan.
“Tapi Ayu Pak?” tanya Nur.
Baca Juga: Sepak Bola SEA Games, Babak Pertama Indonesia Unggul 2-0 Atas Filipina
“Itu masalahnya,” Pak Prabu mencoba menjelaskan, “Asumsi saya, Ayu sejak awal hanya sebagai perantara ke Widya, lewat Bima, namun Ayu tidak memenuhi tugasnya, akibatnya, Ayu dibuatkan jalan pintas, ia diberi selendang hijau itu, tahu dari mana selendang itu?”
Pak Prabu kemudian duduk, matanya merah padam, marah, penuh sesal, “Seharusnya, saya menolak habis-habisan, bila bukan karena dia adik teman saya,”.
Pak Prabu menatap Nur, Wahyu, dan Anton, “Selendang itu, adalah selendang keramat, tidak ada lelaki yang bisa menolak selendang itu saat dipakai oleh perempuan,”
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Nur Story) Bagian 27: “Kancamu Keblubuk Angkarah” Apa Maksud Mbah Buyut?
Pak Prabu menghela nafas panjang, “Nak Ayu tidak salah, nak Bima pun begitu, saya yang salah, seharusnya saya tolak kalian semua,”
“Toh, anak-anak kami pun tidak ada yang tinggal di sini,” lanjut Pak Prabu.
“Tempat ini, bukan untuk anak setengah matang seperti kalian,” Pak Prabu mengatakannya dengan penuh penekanan.
Mendengar perkataan Pak Prabu, Nur tak kuasa melihat Ayu dan Bima.*