Ketakutan akan potensi longsor atau bahaya lain di area gunung membuat mereka harus bergerak secepat mungkin.
Bagi mereka, kecepatan adalah kunci keselamatan di tengah medan yang labil.
"Mau bagaimana lagi, nyawa lebih penting," imbuhnya dengan nada pasrah namun tegar.
Rasa sakit fisik akibat medan yang tajam pun seolah mati rasa demi memenuhi kebutuhan perut keluarga yang menunggu.
Baca Juga: HIV Aids Di Pati mengerikan, rerata dua sampai tiga orang meninggal dunia per bulan
"Kadang kena duri kaki kami tidak terasa," tutup wanita itu mengakhiri ceritanya.
Perjuangan warga Sibolga ini menjadi potret nyata betapa sulitnya distribusi bantuan di wilayah-wilayah yang terisolasi secara geografis, di mana untuk sepiring nasi saja, nyawa harus menjadi taruhannya. *