HARIAN MERAPI - Sejarah Kelenteng 'Liong Hok Bio' di Magelang. Sejak tahun 1857, setelah KRT Secodiningrat II meninggal dunia, terjadi kekosongan pimpinan komunitas Tionghoa di Magelang.
Kasunanan Surakarta mengusulkan kepada pemerintah penjajah Belanda untuk memilih pemimpin dari Surakarta.
Menurut budayawan Tionghoa di Magelang, Kho Dji Tjay, usulan Kasunanan Surakarta ini dikabulkan oleh pemerintah penjajah Belanda dan akhirnya dipilih Be Tjok Lok untuk menjabat sebagai Kapitan kelompok Tionghoa di Magelang.
Baca Juga: Keajaiban, ketika kelenteng 'Liong Hok Bio' di Magelang terjadi kebakaran, bangunan induk tetap aman
Be Koen Wie atau Be Tjok Lok dari Surakarta pindah ke Magelang. Dia berjasa pada saat Perang Diponegoro dan diberi pangkat Luitenant/Letnan oleh Pemerintah Penjajah Belanda.
Luitenant Be Tjok Lok dijadikan pachter candu dan rumah gadai/pandhuis. Sehingga dia menjadi seorang hartawan besar dan kaya raya.
Kemudian Be Tjok Lok diangkat menjadi Kapiten karena mempunyai niat, tanah miliknya yang terletak di sisi utara sebelah tenggara alun-alun, untuk didirikan sebuah kelenteng sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa di Magelang.
Kapiten Be Tjok Lok inilah yang memiliki inisiatif untuk membangun Kelenteng ‘Liong Hok Bio’ bersama para dermawan lain di Magelang pada tahun 1864.
Kelenteng ini dibangun di Ngarakan yang tidak jauh dari alun-alun kota Magelang.
Setelah bangunan kelenteng berdiri, Twa Pek Kong yang berada di Ngarakan diboyong ke kelenteng ini.
Selaras dengan perkembangan jaman dan semakin banyaknya jumlah masyarakat Tionghoa yang beribadah di kelenteng ini, maka umat mengumpulkan dana untuk membeli petak tanah yang ada di sekitar kelenteng.
Setelah dana terkumpul dibelilah 3 petak tanah dengan Persil Eigendom yang terletak di jalan Pemuda Selatan yaitu no 53/55, 57 dan 59.
Pada waktu itu pengelola kelenteng diurus oleh yayasan yang bernama ‘Kong Kwan’ yang mengelola sampai dengan tahun 1906.
Sesudah itu didirikanlah yayasan ’Tiong Hwa Hwee Kwan’ (THHK) untuk mengelola kelenteng itu. Pada tahun 1904 pemerintah penjajah Belanda melarang perayaan di kelenteng itu karena sering terjadi kecelakaan.