Kesepakatan ini mencakup janji puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan bauran energi terbarukan 44 persen pada tahun yang sama.
Namun dana transisi itu macet: hibah terlalu kecil, pinjaman belum menarik, dan negosiasi pensiun dini PLTU, seperti Cirebon-1 di Jawa Barat, belum juga tuntas.
“Kalau dana JETP saja belum jelas, bagaimana kita bisa yakin lonjakan energi bersih terjadi tepat waktu?” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Menurutnya, tanpa percepatan lelang proyek EBT dan pembenahan regulasi pasar listrik, target 2030 hanya akan menjadi angka di dokumen.
Baca Juga: BRI Perkuat Dukungan bagi Sektor Pertanian Melalui Akses Pembiayaan dan Pemberdayaan Inklusif
Ketergantungan yang Berisiko
Sementara itu, PLN berdalih transisi harus dilakukan bertahap. Gas disebut sebagai “jembatan” untuk menjaga pasokan.
Dalam rilis resminya, PLN menegaskan komitmen 76 persen dari tambahan kapasitas adalah EBT.
Namun di saat bersamaan, perusahaan juga menegaskan akan menyelesaikan proyek fosil yang sudah telanjur masuk pipeline.
Bagi pengamat, pola “back loaded” atau menumpuk proyek di akhir dekade sarat risiko. Selain bottleneck pembiayaan dan izin, ada ancaman rantai pasok ketika banyak proyek dikebut serentak.
Pusat Penelitian DPR menyoroti hal ini, semakin lama transisi ditunda, semakin berat beban yang harus diselesaikan sekaligus.
Janji Hijau yang Masih Tertunda
Di balik semua angka, cerita transisi energi sesungguhnya menyangkut kualitas udara yang dihirup jutaan warga, kesehatan masyarakat, dan daya saing ekonomi.