HARIAN MERAPI- Rencana gencatan senjata yang digagas AS di Jalur Gaza masih belum jelas kelanjutannya.
Namun dalam perkembangannya, gerakan perjuangan Palestina, Hamas merespons baik rencana gencatan senjata di Gaza.
Berkenaan hal tersebut, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mendiskusikan gencatan senjata di Jalur Gaza dengan kepala intelijen Mesir Abbas Kamel dalam sambungan telepon pada Sabtu.
Demikian menurut gerakan perjuangan Palestina tersebut.
Baca Juga: Ini Tiga Menteri Jokowi yang Disiapkan PDIP untuk Pilkada Jakarta 2024
Haniyeh menerima panggilan telepon dari Kamel untuk mendiskusikan "jalannya negosiasi yang tengah berlangsung yang ditujukan untuk mencapai gencatan senjata," kata mereka.
Kepala intelijen Mesir tersebut juga menyampaikan belasungkawa kepada Haniyeh atas kematian kakak perempuannya dan beberapa anggota keluarga dalam serangan udara Israel di kamp pengungsian Al-Shati di Kota Gaza barat pekan lalu.
Perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas yang dimediasi oleh AS, Qatar, dan Mesir sejauh ini gagal menyepakati gencatan senjata permanen yang akan memungkinkan pertukaran tahanan antara warga Israel dan Palestina.
Baca Juga: Harmony Auto Berencana Ekspansi Jaringan Dealer BYD di Indonesia
Karena mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober.
Lebih dari 37.800 warga Palestina, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah tewas di Gaza, dan lebih dari 86.800 lainnya luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari delapan bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade ketat terhadap akses makanan, air bersih dan obat-obatan.
Baca Juga: Ini Hasil Penyelidikan Polda Sumbar Terkait Kasus Tewasnya Siswa SMP di Padang
Israel dituding melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang dalam putusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasinya di Rafah, di mana lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum mereka diserang pada 6 Mei.*