HARIAN MERAPI - Kasus kekerasan seksual yang menimpa delapan dosen dan tiga tenaga kependidikan universitas yang diduga dilakukan oleh Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo, cukup memprihatinkan.
"Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi bukanlah pertama kali terjadi dan modus-nya pun berbeda-beda, dan tentunya kita harus mengambil langkah cepat untuk mencegah kasus ini terulang kembali," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati dalam keterangan, di Jakarta, Minggu (28/4/2024).
Seperti dialnsir Antara, Ratna Susianawati mengatakan bahwa pada dasarnya kekerasan sekecil apapun dan menimpa siapapun tidak bisa dibiarkan.
Baca Juga: Pasca diguncang gempa magnitudo 6,5, aktivitas warga pesisir pantai di Garut kembali normal
"Terlebih tindak pidana kekerasan seksual sudah diatur sangat jelas dan tegas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujarnya.
Bahkan, untuk mencegah terjadinya kekerasan di perguruan tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Pihaknya mengapresiasi Badan Pelaksana Penyelenggara Nahdlatul Ulama (BP2NU) yang telah menonaktifkan terduga pelaku.
Baca Juga: Waspadai pencuri modus tanya alamat
Ratna Susianawati menyampaikan bahwa Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga turut memberikan perhatian terhadap kasus tersebut serta berhadap aparat penegak hukum dapat menindak tegas pelaku kekerasan.
Selain itu juga memastikan sanksi pidana terhadap terduga pelaku setimpal dengan perbuatannya apalagi beberapa korban merupakan anggota dari Satuan Tugas PPKS di kampus tersebut.
Dalam kasus ini, KemenPPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Gorontalo.(*)