"Aduh, aku kebelet pipis. Tunggu sebentar aku tak pipis dulu, Tok," ujar Redi sambil melangkah menuju sebuah pohon besar, akan buang air kecil.
Teringat akan petuah Papanya, sebelum melaksanakan hajat kecilnya, Redi uluk salam dan memohon izin akan pipis di tempat tersebut,
yaitu di bawah pohon kelengkeng tua berdiameter delapanpuluh sentimeter yang bagian bawahnya growong.
"Nuwun sewu, Mbah. Redi badhe pipis wonten mriki," begitu ujar Redi dalam bahasa Jawa halus.
Redi kaget. Tanpa diduga ada suara orangtua sepertinya menjawab uluk salamnya.
"Ora papa, Le. Dikepenakke wae. Kono kuwi pancen jambanku," begitu suara yang didengarnya berasal dari atas pohon.
Spontan kepala Redi mendongak ke atas. Di bawah terangnya sinar bulan purnama, Redi tidak melihat ada seorang pun berada di pohon kelengkeng.
Tak urung dia pun lari tunggang langgang meninggalkan pohon kelengkeng tua itu.
Baca Juga: Patung Tuxtla Meksiko peninggalan peradaban nenek moyang masih menyimpan misteri dunia
Menol dan Anto yang tidak tahu duduk persoalannya ikut berlari di belakangnya. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *