“Hah… dengan siapa kamu ke sini? Lewat mana? Apa tidak lelah?”
Dan sederet pertanyaan yang dilontarkan Arga kepada adiknya. Rasa heran, marah, kagum dan anyel bercampur menjadi satu.
Mendapat berondongan pertanyaan bernada marah dari kakaknya, Adis hanya diam membisu.
Baru setelah dibujuk pelan-pelan, “pendaki cilik” tersebut mau membuka mulut. Dan menceriterakan apa yang dialaminya.
Sore kemarin ketika sedang bermain sepeda, Adis didatangi seorang lelaki sepuh.
“Eyang tahu yang kamu mau. Kamu ngebet ingin naik gunung kan? Jangan bersedih, ayo jalan sama Eyang.” Adis menirukan ucapan lelaki sepuh tersebut.
Adis gembira bukan main. Tangan Adis digandeng erat dan keduanya berjalanke arah utara.
Jalan yang semula datar berubah menjadi penuh tanjakan.
Namun begitu Adis tidak merasa kelelahan, begitu juga lelaki sepuh itu.
“Aku nggak ngerti, Mas. Tahu-tahu sudah sampai sini. Dan aku juga tidak tahu, Eyang yang mengajakku, entah pergi kemana,” begitulah Adis menceriterakan kejadian yang dialaminya.
Arga dan teman-temannya ndomblong, tidak habis pikir. Adis yang masih cemlolo itu bisa sampai di puncak gunung Merapi tanpa nampak lelah.
Namun… ketika turun, tak urung Arga harus bergantian dengan teman-temannya menggendong Adis.
Pasalnya, “pendaki kecil” itu bola-bali sambat capek. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *