“Ada apa, Mas?”
“Kamu mencium bau kembang melati nggak?”
Ia terdiam sebentar. “Iya, ada bau bunga melati.”
Air muka adik saya memancarkan ketakutan.
Lalu, ia berlari hendak keluar rumah, tapi tercegat oleh kedatangan sisa anggota keluarga saya yang lain.
Ibu dan Bapak mendekat ke arah saya yang masih berdiri mematung.
“Eneng opo?” tanya Ibu.
“Bau kembang melati, Mak. Nyium ora?”
Ibu mengangguk, tapi langsung berlalu.
“Bibi atau mbahmu mungkin yang sedang menengok. Sudah, biarkan saja,” tambah Bapak, lantas berlalu ke belakang.
Masih dalam posisi berdiri, saya seketika terbayang dua wajah yang sudah pergi itu.
Dan seperti kata Bapak, saya membiarkannya saja. Toh, mereka tidak mengganggu. (Seperti dikisahkan Wahid Kurniawan di Koran Merapi)*