harianmerapi.com - Sudah menjadi tradisi turun-temurun, setiap bulan Ruwah atau ruwahan, Bu Sujak tidak pernah lupa membuat kue apem. Plus ketan serta kolak ubi jalar dan pisang raja.
Bukan untuk dimakan sekeluarga, tetapi untuk ‘sajian’ arwah leluhur yang sudah meninggal dunia.
Terlebih buat Pak Kardin, suami Bu Sujak yang sangat dicintainya semasa masih hidup.
Baca Juga: Nasib Petualang Cinta 9: Penyesalan Selalu Datang Belakangan
Dulu, Pak Kardin adalah penyuka berat kue apem. Bukan apem sembarang apem, namun apem khusus yang dibuat sendiri oleh Bu Sujak, isteri tersayangnya.
Memang, kepiawaian Bu Sujak dalam mengolah kue apem, sulit tertandingi oleh siapa pun.
Kala itu sudah memasuki bulan Ruwah. Sibuk dengan urusan bisnisnya, Bu Sujak sampai lupa. Sudah tanggal duapuluh empat bulan Ruwah, belum membuat kue apem, ketan dan kolak untuk sajian leluhurnya.
Baca Juga: Roja’ Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
“Mau bikin apem, ketan, dan kolak kok tidak sempat. Biarlah, aku beli apem di pasar saja. Ketan dan kolaknya beli di warung Mbok Atmo”, ujar Bu Sujak dalam hati. Menyiasati akan keterbatasan waktunya.
Jadilah, tiga piring masing-masing berisi sepuluh biji kue apem, ketan, dan kolak, ditata di atas meja kecil yang ada di dalam ‘senthong tengah’ rumah kuna, warisan dari orangtua Bu Sujak. Sebagai sajian bagi leluhur- leluhur Bu Sujak.
“Nah, akhirnya beres juga semuanya. Sajian beres, pekerjaan juga beres. Tidak terganggu”, ujar Bu Sujak dengan tersenyum puas.
Baca Juga: Mensyukuri Nikmat 49: Bersedekah Tak Mengurangi Hartamu
Seperti biasanya, setelah sehari-semalam disajikan, kue apem, ketan, dan kolak tersebut akan ‘dilorot’ oleh Bu Sujak.
Betapa kaget dan herannya Bu Sujak ketika masuk ‘senthong tengah’. Kue apem, ketan, dan kolak sudah tidak lagi berada di atas piring.
Sudah berpindah tempat dan bercampur menjadi satu di sebuah besek bambu.Tidak lagi berbentuk apem. Namun sudah berubah menjadi cuilan-cuilan kecil, campur aduk dengan ketan dan kolak. Dan tampaknya seperti sengaja diaduk-aduk.