Sembari gigi bergemeletuk menahan dingin. Saya mulai meneriakkan nama “Jimbul…!” berharap ia akan menyahut.
Saya memperluas area pencarian sampai ke kebun di ujung desa yang cukup rimbun, dan ditumbuhi banyak kelapa.
Sambil menyoroti sekeliling, lamat-lamat saya mendengar sesuatu.
Suaranya persis seperti Jambul, dan arahnya dari tumpukkan rumput kering yang basah kuyup. Saya mendekatinya perlahan.
Karena tempat saya memijak ini tanah liat yang licin ketika terkena air.
Dengan satu tangan saya menyibak-nyibak tumpukan rumput itu. Namun tetap saja tak ada apa-apa.
Saya mulai mendengus pasrah. Mendadak suara itu muncul lagi.
Kali ini dibarengi dengan suara benda jatuh di antara rumput bebandotan. Saya mulai menyenteri.
Nampak ada sesuatu yang bundar di sana. Tapi tunggu… badan Jambul tak sebesar dan sebundar itu.
Ia lebih mirip bola sepak.
Tiba-tiba ngeongan itu terdengar lagi. Dan benda itu mulai menggelinding ke arah saya.
Padahal tanah di situ cukup datar. Saya buru-buru menepis keheranan ini.
Dan mengambil ancang-ancang lari. Beberapa kali saya jatuh. Hingga celana basah kuyup.
Sampai di rumah ibu terkejut, melihat anaknya basah kuyup. Lalu menyuruh saya mandi lagi.