“Ah, sampeyan tadi tertidur. Tidak dirawuhi siapa-siapa kok?”
Kang Badrun terdiam, hatinya kesal. Kang Badrun percaya, priyayi tadi adalah makhluk astral yang berkepentingan dengannya, entah apa kepentingan itu?
Sampai di rumah Kang Badrun tidak tahu harus bagaimana merawat upil Gajah tadi.
Dia hanya menempatkannya di sebuah kotak dan disimpannya di ruang khusus yang biasa dia pakai untuk semedi dan berdoa.
Setiap malam Jumat Kliwon Upil Gajah itu diberinya sesajen ada kembang setaman, menyan madu, gedang mangsan, dupa, rokok klobot, duwit receh, dan sebagainya.
Dengan sesaji itu Kang Badrun tidak punya maksud tertentu kecuali hanya sebagai wujud rasa hormatnya kepada makhluk astral yang pernah memberinya sebongkah Upil Gajah.
Juga sebagai sarana dirinya meminta maaf karena telah berbuat kurang senonoh.
Yakni, ngupil di tempat bersemayamnya para leluhur yang mestinya disakralkan bukan malah diduliti upil.
Sampai sekarang Kang Badrun juga belum mendapatkan sasmita apa-apa terkait dengan sebongkah upil Gajah tadi mungkin besuk atau lusa atau entah kapanpun. -Semua nama samaran (Seperti dikisahkan Akhiyadi di Koran Merapi) *