Maka diayunkannya semakin keras tangkai bindi yang berupa rantai baja itu.
Sedangkan ujungnya yang berwujud bulatan besi sebesar buah semangka nampak terus berputar mencari sasaran.
Siapa yang terkena bola besi itu dipastikan akan remuk tulangnya.
“Hiiaaaattt..!” Jaka Wacana mencoba menggertak lawannya dengan meloncat maju sambil menjulurkan tongkat hitamnya.
Lawannya menghindar dengan meloncat mundur mencari kesempatan agar senjatanya bisa mengenai sasaran.
Nampak bindi itu bergerak semakin cepat, “Mampus kau anak Iblis!”, seru Wira Bantheng saat bulatan bindinya nyaris menyentuh kepala lawannya yang kemudian merendahkan diri menghindarinya.
“Terimalah pembalasanku, paman Wira!”, teriak Jaka Wacana sambil meloncat maju mendekati tubuh lawannya di saat senjata lawan sedang terayun memintas di atas kepalanya.
Dipukullah pundak musuhnya dengan tongkat hitam galih asem keras sekali.
Wira Bantheng tidak sempat berteriak kesakitan, dia langsung ambruk dengan tulang di pundaknya remuk redam.
Di arena pertempuran lain tidak jauh dari tempat itu, Gajah Sona perlahan-lahan mulai bisa mengendalikan lawannya.
Meski dia sendiri terluka di pinggangnya oleh goresan senjata lawan namun kondisi tubuhnya relatif masih lebih segar dari pada lawannya.
“Kakang Jaya Pragola, agaknya umurmu tidak bisa kau pungkiri. Nyata benar dirimu tidak sehebat dulu lagi”, kata Gajah Sona,
“Dengan demikian maka ketika aku menyerang dengan kedua pedangku bersama-sama tenagamu sudah tidak mampu lagi untuk menghindari. Maka sepasang goresan senjataku merobek perutmu”.